Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Jumat, 22 Agustus 2014

Indonesia Darurat Konstitusi dan Demokrasi

Nasional - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan sengketa Pemilihan umum Presiden (Pilpres) 2014 dengan menolak seluruh gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden yang diajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden No. 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” demikian disampaikan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (21/8/2014).
Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan PHPU ini sangat mengejutkan rakyat Indonesia, mengingat banyaknya bukti-bukti yang telah diajukan sehingga banyak catatan terjadinya pelanggaran dan kejahatan demokrasi yang diduga terstuktur, sistematis dan masif, dalam proses Pilpres 2014 ini.

Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang justru berbeda dengan apa yang diputuskan MK.

DKPP memutuskan bahwa memang terjadi pelanggaran kode etik yang telah dilakukan oleh KPU dari tingkat daerah hingga KPU Pusat, dengan memberikan sanksi peringatan, yang manapun keputusan DKPP tersebut masih mengecewakan,  namun dalam putusan MK dinyatakan bahwa tidak terjadi adanya pelanggaran.

“Ada perbedaan keputusan antara DKPP dan MK yang cukup menjadi catatan kami” demikian diungkapkan salah satu pengacara koalisi merah putih, Maqdir Ismail saat wawancara dengan TVOne seusai pembacaan keputusan MK.

DKPP juga memutuskan bahwa perintah pembukaan kotak suara oleh KPU sudah melanggar kode etik dan memberikan sangsi peringatan kepada Komisioner KPU. Sementara MK memberikan keputusan berbeda dengan menolak seluruh gugatan pasangan No. 1 Prabowo-Hatta.

Banyak pengamat yang menyesali dan menyayangkan keputusan MK tersebut yang ternyata tanpa ada catatan khusus, yang malah terkesan bahwa MK memang benar adalah Mahkamah Kalkulator, yang karena tidak peka dan peduli bahwa sudah terjadi kelalaian dan pelanggaran berat terhadap demokrasi di negeri ini, apalagi terhadap nasib bangsa dan negara ini yang katanya adalah negara demokrasi.

"MK= Mahkamah Kacung...pantas dibubarkan!, karena sudah menjadi Mahkamah Kalkulator!"...status Ahmad Firman, seperti yang dikutip dari akun facebooknya.

Malah ditambahkan oleh Ahmad Firman dalam pembicaraannya dengan redaksi, bahwa sebagai Rakyat Indonesia yang Merdeka mengemban Amanat sebagai Pemegang Kedaulatan dan Kekuasaan di Republik Indonesia ini, baik secara Hukum dan Konstitusi, adalah berhak untuk menuntut Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden yang masih sah untuk mengambil langkah dan tindakan demi penyelamatan demokrasi dan konstitusi yang saat ini memang semakin karut marut tanpa kepastian dan keadilan hukum, apalagi dibuktikan dengan hasil keputusan MK yang sudah seperti ini.

Maka Firman mengatakan Presiden SBY dituntut segera menerbitkan Dekrit Presiden yang isinya adalah: 1. membubarkan KPU dan membatalkan segala keputusannya dalam Pilpres 2014; 2. meminta MPR bersidang untuk memutuskan pelaksanaan ulang Pilpres 2014 yang Jujur, adil dan Demokratis. 3. dan mendorong MPR untuk mengembalikan Konstitusi UUD Tahun 1945 sebagaimana kedudukan dan fungsinya, yang Asli dan Murni.

"Dan apabila Dekrit Presiden tidak diterbitkan berarti akan berdampak bahaya...dengan potensi terjadinya instabilitas nasional, kedaulatan dan keutuhan NKRI, kini dan nantinya", ujar Firman menegaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates