Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Kamis, 31 Juli 2014

MENYIAPKAN APARATUR SIPIL NEGARA YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF UNTUK KEMAJUAN BANGSA

MENYIAPKAN APARATUR SIPIL NEGARA YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF UNTUK KEMAJUAN BANGSA

Oleh: Undrizon, SH
Praktisi Hukum Undrizon and Associate Law Office, Jakarta


Semoga setelah pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden pada 2014, telah membawa angin segar perubahan sikaPeraturan Pemerintaholitik yang kian konstruktif di tanah air. Semoga dengan adanya tahapan pembangunan demokrasi kian matang, sehingga Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat siap menjadi negara yang mandiri, maju, dan modern.

Akan tetapi kemajuan dan modern sebagai bangsa dan negara sangat membutuhkan keberadaan sumberdaya manusia nasional yang mampu menjalankan posisi strategisnya untuk melayani kepentingan NKRI.

Artinya, secara khusus diperlukan pengisian jabatan di berbagai posisi, kelembagaan negara. Dalam konteks ini, Pakar Ekonomi, Kwik Kian Gie, dalam beberapa kesempatan di media massa pernah mengutarakan tentang pentingnya memperhitungkan antara rasio jumlah Pegawai Negeri dengan rasio pengeluaran keuangan negara. Tentunya yang dimaksudkan ialah adanya perimbangan yang produktif antara jumlah pegawai terhadap kemampuan negara untuk membayar gaji. Dalam perhitungan ekonomis tentunya hal itu merupakan pengeluaran rutin negara.

Selain itu tentunya, antara rasio jumlah penduduk dalam perhitungan ekonomik tentunya menjadi gugus dan stratifikasi yang mendorong produktifitas Negara. Sebut saja, jumlah usahawan yang harus dimiliki suatu negara yang dikatakan maju? Begitu juga tentang trata pendidikan, kesehatan, profesi, dan sterusnya. Sehingga menjadi indicator dalam mengukur kapasitas sumberdaya manusia nasional yang mendorong kemakmuran bangsa dan Negara.

Sehingga efektifitas UU ini tentunya juga harus dilengkapi dengan sistem pendidikan nasional dalam melahirkan Sumberdaya Manusia Indonesia yang terdidik. Keserasian dan harmonisasi UU itu terhadap berbagai sektor akan membawa integrasi dalam menjawab berbagai tantangan dalam tugas, fungsi, dan kewenangan setelah menempati posisi di berbagai jajaran struktural pemerintahan dari pusat hingga ke seluruh pelosok daerah.

Meskipun reformasi struktural atau reformasi birokrasi menjadi skema utama dalam sudut pandang Pendayagunaan Aparatur Negara. Begitu juga yang lebih khusus pada aparatur di bidang pertahanan dan keamanan serta berbagai fungsi yang strategis lainnya. Termasuk dalam posisinya sebagai pejabat di berbagai kementerian dan lembaga negara (sesuai dengan peraturan-perundangan pembentuknya, seperti: UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian, Keppres RI Nomor 44 Tahun 1974, Keppres RI Nomor 45 Tahun 1974 Tentang Organisasi Departemen), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan sional Indonesia (TNI), dan lain sebagainya. Tinggal dilihat bagaimana rangkaian normative dan jiwa dari UU ini telah membentuk suatu integrasi yang saling menunjang dan mendukung pencapaian tujuan nasional.

Tentunya, yang lebih teknis, dapat dilihat dari bagaimana tugas utama yang dilakukan, khususnya pada Kementerian Aparatur Negara Republik Indonesia (Kemenpan RI) dalam mengawasi keberadaan pegawai sipil negara agar menjadi kekuatan nasional untuk berkontribusi secara maksimal bagi pembangunan nasional. Untuk itulah selain juga ditengarai dengan peran Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan instansi dibawahnya, semuanya bertujuan untuk bagaimana menciptakan posisi berbagai personil di jajaran pemerintahan yang mampu memberikan nilai tambah (added values) untuk mengawal tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi nasional (UUD NRI 1945).

Membangun Kecenderungan Quality

Sumberdaya Manusia Indonesia telah menjadi aset sekaligus modal utama dalam mencapai tujuan nasional. Tujuan nasional yang telah tercantum di dalam UUD 1945, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, ikutserta melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial. Maka itu, integrasi dan konvergensi kebijakan hukum harus membentuk kaitan-kaitan yang sinergis terhadap proses antara kelembagaan atau institusi kenegaraan dengan upaya kepemimpinan untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang efektif dan produktif untuk menduduki posisi aparatur negara, baik pada tingkat pusat, daerah, dan berbagai posisi fungsional struktural strategis lainnya.

Mewujudkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang produktif menjadi bagian dari upaya dalam sistemik, dan saling-terkait terhadap skema reformasi birokrasi dalam arti luas, maka itu, perlu ditetapkan posisi Aparatur Sipil Negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib dan bertanggungjawab atas kinerjanya dan penerapan ‘prinsip-prinsip merit’ dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.

Oleh karena itu, nilai dasar yang hendak diimplementasikan dan dikembangkan dalam setiap peranan dari Aparatur Sipil Negara ialah nilai-nilai yang senantiasa memegang teguh ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan UUD 1945 serta pemerintahan yang sah, mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia, menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak, membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian, menciptakan lingkungan kerja yang non-diskriminatif, memelihara dan menjunjungtinggi standar etika yang luhur, mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjannya kepada publik, memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah, memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdayaguna, berhasilguna, dan santun, mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi (quality leadership), menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerjasama, m. mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai , mendorong kesetaraan dalam pekerjaan, meningkatkan efektifitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karir.

Selain itu harus pula mengindahkan berbagai prinsip yang baik berdasarkan Pasal 3 berdasarkan prinsip nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggungjawabk dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewajiban utamanya dalam melayani kepentingan masyarakat (publik) antara lain, kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi akademik, jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas, profesionalitas jabatan.

Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan-perundangan dan etika pemerintahan. Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara.

Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggungjawab, efektif dan efisien. Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan.

Tidak menyalahgunakan informasi pada intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain. Memegangteguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN. Melaksanakan ketentuan peraturan-perundangan.

Lebih jauh tentang fungsi ASN, yang dituntut untuk melaksanakan kebijakan publik, pelayan publik, Perekat dan pemersatu bangsa. Kemudian terkait dengan tugasnya maka ASN harus melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan-perundnagan. Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas. Mempereerat persatuan dan kesatuan NKRI.

Maka itu, peran strategis ASN dalam menjalankan tugasnya harus terarah pada kemampuannya dalam berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksnaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

UU Yang Menguatkan Karakter ASN

Untuk membangun karakter sebagai apartur negara maka diperlukan konsistensi sikap yang menaati beberapa azas yang harus dianut dan diindahkan oleh Aparatur Sipil Negara, telah tercantum di dalam Pasal 2, yang kemudian juga menyangkut tentang adanya kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akutabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, kesejahteraan.

Dalam perspektif UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang UU Aparatur Sipil Negara, khususnya sesuai dengan Pasal 1 ayat 22, telah memberlakukan suatu Sistem Merit, ialah suatu kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan kepada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar-belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Maka itu, diperlukan payung hukum melalui eksistensi dari UU Aparatur Sipil Negara tersebut, sehingga dapat membantu terlaksananya dan atau tercapainya cita-cita kehidupan sebagai bangsa yang maju atau modern. Melalui pola pikir, pola tindak, dan pola sikap yang kredibel maka akan mampu menjadi kekuatan efektif dan sekaligus produktif dalam rangka mewujudkan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah tercantum dalam pembukaan UUD1945.

Oleh karenanya, sangat diperlukan adanya postur Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan perannya sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.

Dengan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, ketika UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang telah dirubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan tantangan serta kebutuhan aparatur negara yang mampu meningkatkan produktifitas kehidupan nasional dan dapat menjawab peluang serta tantangan global.

Untuk menjamin adanya tertib hukum, maka tentunya diperlukan upaya untuk menjabarkan lebih lanjut atas berbagai ketentuan peraturan-perundangan yang terkait dengan reposisi, tugas, wewenang, fungsi, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, selain adanya efektifitas UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, juga perlu posisi integral dan sinergis atas berbagai ketentuan terkait ASN. Antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Larangan PNS menjadi anggota Partai Politik, Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 Tentang Formasi PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Tentang Formasi PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Tentang Pengadaan PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Tentang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Pemberhentian PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberhentian PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2011 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberhentian PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberhentian PNS, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30 IV.7-3199, Tentang Batas Usia Pensiun PNS.

Selain itu, maka terkait dengan Kode Etik, sehingga UU Nomor 5 Tahun 2014 juga telah menggarisbawahinya sesuai ketentuan di dalam Pasal 5 ayat 2, bahwa ASN harus mampu melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggungjawab, dan berintegritas tinggi. Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin. Melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.

Termasuk bagaimana menyusun komposisi keahlian yang akan berkontribusi bagi pembangunan nasional dan daerah. Karena, telah terbukti bahwa suatu negara akan menjadi modern apabila sumberdaya manusia yang mampu menempati berbagai lini untuk kepentingan nasional baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semua itu dapat menjadi dorongan dalam pelaksanaan manajemen Aparatur Sipil Negara yang berdasarkan kepada adanya perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan untuk suatu jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekruitmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance).

Jumat, 11 Juli 2014

ANTARA PAYUNG HUKUM DAN SIKAP POLITIK DALAM PEMILU PRESIDEN 2014

Oleh: Undrizon, SH
Praktisi Hukum Undrizon and Associate Law Office, Jakarta


Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014, terkesan cukup dinamis. Kedua pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden telah menunjukan niat yang baik (itikad-baik) demi negeri. Hal ini sejalan dengan upaya untuk membenahi sistem pemilihan umum dari masa ke masa. Perbaikan yang bertujuan agar terwujudnya kehidupan bangsa dan negara yang demokratis.

Perspektif Peraturan Perundangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Maka itu, di dalam konsiderannya telah menjelaskan bahwa Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam waktu yang panjang berbagai ikhtiar terus dilakukan, utamanya sebagai upaya serius untuk melahirkan kepemimpinan nasional yang berkapasitas dan kredibel. Semua itu berguna dalam mencapai tujuan didirikannya negara ini, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam kaitan ini, dan dalam upayanya ikut serta dalam memajukan nilai-nilai demokrasi di tanah air. Bahwa Pemilu juga menjadi kewajiban konstitusional yang mendorong lahirnya calon-pemimpin nasional, dalam konteks ini, yaitu: Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang visioner, memahami persoalan bangsa dan negara, serta solusi dan strategi implementasinya, serta dapat membuat perumusan dan perencanaan pemerintahan dengan lebih baik. Adanya visi, misi dan program strategis pemerintahan itulah yang menjadi argumentasi partai atau gabungan partai pengusul untuk mencalonkannya, sekaligus sebagai basis koalisi yang lebih permanen dan tidak didominasi oleh kepentingan pragmatis. 

Integritas dan Kesungguhan SBY
Begitupun sikap yang telah ditunjukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selaku Presiden Republik Indonesia, dan sekaligus selaku penanggungjawab bagi pelaksanaan Pilpres 2014 dalam arti luas. SBY dalam masa akhir kepemimpinannya telah menunjukan sikap kenegarawanan untuk mengawal transisi kekuasaan serta kultur kehidupan nasional yang demokratis dengan mekanisme Pemilu Presiden yang diselenggarakan secara berintegritas, berkualitas, dan berkredibilitas sesuai hukum yang berlaku.

Maka itu, segala himbauan, ajakan, promosi, dinamika kampanye (debat Capres dan Cawapres yang dipertontonkan melalui media masa elektronik, iklan, lagu, musikalitas, kearifan budaya, dan lain sebagainya), sehingga terbentuk internalisasi visi, misi, program, dan rencana strategis para calon agar dapat dipahami, diterima, dan dinilai oleh masyarakat sebelum mentukan pilihannya.

Segala warna perilaku di dalam pelaksanaan Pilpres tersebut, sesungguhnya bisa dikategorikan semacam bentuk penawaran atas suatu skema rasionalitas tentang nilai-nilai atau sesuatu kebaikan yang harus diperjuangkan. Kemudian, dalam skema institusionalitas maka Negara dengan segenap entitasnya perlu menyiapkan aturan main yang mampu menjembatani terjadinya proses Pemilu yang diinginkan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil menurut hukum dan atau peraturan perundangan yang berlaku guna mencapai dan segera mewujudkan NKRI yang demokratis.

Dalam konteks ini ternyata KPU cukup mengambil porsinya yang cukup baik, melalui peran strategis sesuai fungsi, tugas, dan kewenangannya secara konstruktif. Beruntung calon cuma ada dua pasang, sehingga muatan kerja bagi pelaksana Pilpres menjadi tidak terlalu rumit, seperti: KPU, Bawaslu, dan DKPP. Begitu juga sikap pemerintah dengan berbagai himbauan dan pengawalan untuk menjaga kedamaian, aman, dan tentram.

Maka itu, sebagai pedoman dapat dilihat bagaimana tugas, fungsi, dan wewenang KPU berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, khususnya pada Pasal 8 ayat (2), bahwa KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi kegiatan untuk merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal, termasuk usaha-usaha untuk menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN. Kemudian, KPU harus menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

Selan itu juga termasuk upaya dalam mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan, memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih, menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi, menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang telah memenuhi persyaratan, menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara, membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu, menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya, mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dan membuat berita acaranya, menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan, memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU Provinsi, PPLN, dan KPPSLN.

Selanjutnya, dengan segera kalau ada berbagai temuan dan laporan yang disampaikan oleh Bawaslu, menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota KPU, KPU Provinsi, PPLN, KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan ketentuan peraturan perundang-undangan, melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat, menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye, melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh Undang-Undang.

Artinya, bahwa pemerintah dalam arti luas, dan secara spesifik/sektoral juga telah berusaha untuk menjaga netralitas Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), termasuk netralitas aparatur Intellijen Negara (BIN), dan lain sebagainya. Disamping payung hukum yang berlaku juga dipertegas dengan adanya sikap konstruktif dari pemerintahan, khususnya Presiden SBY, sehingga keberlangsungan kehidupan NKRI masih terjaga dan bertahan. Artinya, selagi ada sang merah-putih yang tetap berkibar, maka itu, kesinambungan pembangunan nasional harus tetap berlangsung secara progresif dan produktif.

Etika Berpolitik
Jangan sampai terjadi inkonsistensi sikap yang memancing atau memperkeruh keadaan. Kondisi ini sempat timbul sebagai akibat dari kontroversi yang terjadi sebagai akibat perbedaan pada hitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei di tanah air. Padahal kondisi yang penuh kegairahan dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat dalam berbagai lapisan serta, gairah itupun terjadi di berbagai belahan dunia, di banyak negara, ternyata banyak warga lainnya yang mengikuti perkembangan Pemilu Presiden di Indonesia. 

Untuk itu, sikap yang dewasa dari para elite bangsa dan negara amat sangat diperlukan. Sementara itu rakyat malah sudah lebih-dahulu menjadi dewasa. Para elite harus menjaga diri dan atau mawas diri agar jangan sontak bertindak tanpa mengindahkan hukum, etika sosial, serta perlunya mengapresiasi nilai-nilai kearifan budaya nasional, tenggang-rasa, dan lain sebagainya.

Maka itu, menjadi kian menarik ketika ada sentilan dari Prabowo Subianto, Capres dari koalisi merah-putih itu, seraya mengungkapkan betapa pentingnya sikap yang penuh 'tepo-seliro', tentunya yang dimaksudkan ialah perlu adanya suatu etika dalam berpolitik, dan sikap kesatria. Mungkin hal-hal terkait dengan nilai-nilai luhur di negeri ini masih banyak yang perlu diindahkan dan bangsa Indonesia secara turun-temurun sudah mewarisi sikap hidup yang berbudi baik. Mungkin hal yang sama ada baiknya menuruti himbauan KPU dan berbagai tokoh dari kalangan organisasi massa yang menyampaikan press release tentang pentingnya menjaga kondusifitas kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui saluran media massa nasional.

Karena itu, disayangkan seketika masih adanya perdebatan tentang perbedaan hasil hitungan perolehan suara dengan metode quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei baik yang diklaim secara independensi dan/atau bersifat dependensi dari interests tertentu. Meskipun demikian, bahwa dalam konteks Pilpres juga mereka tetap dan haruslah menjunjung tinggi semangat profesionalitas yang berintegritas sebagai bagian dari anak bangsa yang beradab dan bermartabat.

Namun kemudian, ternyata pasangan Jokowi-JK langsung bersikap agak terkesan menjadi berlebihan, selain dari pengerahan massa, dan pernyataan (konferensi pers) tentang kemenangannya dengan versi quick count serta konvoi dan deklarasi kemenangannya di Tugu Proklamasi, Jakarta. Padahal sikap tersebut dapat berpotensi memancing kondisi yang kontraproduktif terhadap tataran dan tatanan kehidupan masyarakat secara horizontal, berbagai reaksi yang mungkin timbul dari berbagai kalangan/kepentingan dan stakeholders bangsa dan negara.

Sebuah euforia kemenangan yang terlalu dini karena semestinya terlebih-dahulu mengambil rujukan kepada hasil real count yang dilakukan oleh pihak penyelenggara resmi (kompeten), yakni: Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagaimana keputusan KPU untuk menentukan hasil nyata atau hasil resmi perolehan suara pasangan pada Pilpres tersebut, sekitar 22 Julu 2014. Kondisi masyarakat dalam jeda waktu sebagaimana telah dtentukan tersebut haruslah dijaga. Jangan sampai adanya keadaan yang terbentuk oleh sikap elite yang menyeret-nyeret warga bangsa untuk saling berhadapan.

Masyarakat sesungguhnya sudah lebih dewasa dalam melihat dan menyikapi keadaan yang tengah berkembang dewasa ini. Rakyat hanya ingin dan menunggu bagaimana visi, misi, program, rencana strategis, dan janji-janji selama proses kampanye pemilu tersebut mampu direalisasikan.

Bahkan Joko Suyanto (Menkopolhukam RI) juga telah menghimbau kepada kontestan dan masyarakat pendukung agar menunggu hasil rekapitulasi akhir yang akan disampaikan oleh KPU. Maka itu, dibutuhkan suatu kondisi kehidupan nasional yang aman, sejuk, dan damai. Adanya dukungan para partisipan politik untuk membangun kondisi kehidupan yang tidak kontraproduktif utamanya bagi masyarakat yang lebih luas di negeri ini. Begitupun, peringatan Panglima TNI telah ditegaskan dalam mempertahankan netralitas TNI, dan Kepala Keplisian Republik Indonesia tentang sikap Polri dengan segala kelengkapan organisasinya untuk mendukung penyelenggaraan Pilpres dengan prinsip-prinsip supremasi hukum, dan agar bersama-sama dengan segenap stakeholder bangsa untuk mengawal pemilu Presiden tersebut agar mampu mencapai kualitas yang baik.

Semua ini adalah pembelajaran yang berharga dalam proses pematangan kehidupan berdemokrasi di tanah air. Termasuk pentingnya senantiasa belajar dari kondisi politik masa lalu, masa sekarang, sehingga mampu menentukan sikap yang lebih-baik pada masa mendatang demi bangsa dan negara Republik Indonesia.

Senin, 07 Juli 2014

DIAMKAN LAPORAN KASUS, KPK BISA DILAPORKAN KE OMBUDSMAN?

JAKARTA – Lakukan pendiaman atas laporan kasus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dilaporkan ke Ombudsman. Hal itu terkait tak bereaksinya lembaga super body tersebut untuk menindaklanjuti laporan dugaan korupsi yang dilakukan Jokowi saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Sebagaimana diketahui, mantan konsultan IT Joko Widodo, Wahyu Nugroho, mengungkap dugaan korupsi yang dalam program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS) dimana terdapat banyak nama atau NIK ganda dalam sistem yang dibuat Jokowi. Hal tersebut pun sudah dilaporkan sejak tahun 2012, namun tidak ada langkah apapun yang dilakukan KPK.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, mengatakan, jika tindakan tersebut benar, maka hal itu sudah termasuk perbuatan yang menyalahgunakan wewenang sehingga merugikan keuangan negara.

“Itu termasuk perbuatan korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU TI Tipikor. Jika benar data tersebut, mudah-mudahan yang bersangkutan masih menyimpan datanya,” kata Mudzakkir saat dikonfirmasi, Jumat (4/7/2014).

Wahyu sendiri sudah menunjukkan bukti-bukti dugaan korupsi BPMKS lengkap dengan surat-suratnya pada Abraham Samad Cs. Namun hingga saat ini, laporan mengenai dugaan korupsi program BPMKS tak juga ditindaklanjuti oleh KPK. Mengenai hal tersebut, Mudzakkir menilai sikap KPK bisa dilaporkan ke Ombudsman.
"jika tindakan tersebut benar, maka hal itu sudah termasuk perbuatan yang menyalahgunakan wewenang sehingga merugikan keuangan negara"...
“Sesuai dengan kapasitasnya. Jika benar telah melapor yang didukung fakta hukum lengkap bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dan KPK tidak memberi tanggapan yang serius, pelapor sebaiknya mengadukan ke Ombudsman bahwa KPK tidak menanggapi laporan. Atau lapor juga ke DPR sebagai lembaga kontrol dan pengawasan terhadap KPK,” bebernya. (hol)

 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates