Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Sabtu, 17 Desember 2011

INDUSTRI KREATIF TERHAMBAT ATURAN DAN KEPERCAYAAN BANK

Jumat, 16 Desember 2011, (Berita Daerah-Nasional), Industri kreatif untuk bisa berkembang masih terhambat aturan birokrasi yang kaku, bahkan perbankan sendiri kurang percaya untuk memberikan pinjaman modal.
Saat ini ada 14 industri kreatif yang diakui pemerintah, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, “fashion”, video film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berencana memasukkan sektor kuliner menjadi salah satu dari industri kreatif. Dengan demikian, industri kreatif yang diakui pemerintah nantinya menjadi 15 sektor.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady pernah mengatakan, perkembangan industri kreatif di Indonesia masih banyak dihambat aturan birokrasi yang kaku. “Ini yang menjadi penghambat, sehingga industri kreatif sulit tumbuh dengan cepat,” katanya.
Padahal, menurut dia, Indonesia menargetkan menjadi pusat industri kreatif di regional ASEAN pada 2014. “Untuk itu, mulai tahun depan Kemenko Ekonomi fokus membabat habis regulasi yang menghambat perkembangan industri kreatif,” katanya.
Selain itu, kata Edy, sumber daya manusia yang mumpuni harus disiapkan, dan didukung dengan mengalirnya investasi bagi industri tersebut.
Di Yogyakarta sendiri yang selama ini dikenal sebagai “gudangnya” orang kreatif, bahkan saat ini banyak komunitas kreatif bermunculan di daerah ini, namun pengakuan dan apresiasi terhadap industri tersebut sangat kurang.
“Industri kreatif di Daerah Istimewa Yogyakarta kurang diakui, sehingga para pelaku industri ini kesulitan untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank,” kata Asisten Koordinator Tim Peneliti Klaster Globalization and Local Development Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Andreas Nugraha.
Di sela seminar nasional bertajuk “Pengembangan Yogyakarta sebagai kota kreatif di Asia Pasifik Berbasis MP3EI”, di Yogyakarta, 25 November 2011, ia mengatakan industri kreatif merupakan sektor baru, sehingga pengakuan dan apresiasi terhadap sektor ini masih rendah.
Menurut dia, para pelaku industri kreatif kesulitan mengakses perbankan untuk mendapatkan pinjaman modal, karena jenis usahanya belum terdaftar.
Bahkan, kata Andreas, pandangan masyarakat sendiri terhadap industri kreatif belum seperti sektor lain yang lebih mapan. Industri kreatif membutuhkan biaya besar untuk mengembangkannya.
Apalagi untuk bersaing secara global, menurut dia industri kreatif perlu didukung teknologi yang memadai guna meningkatkan kreativitas yang menjadi andalannya, sehingga butuh modal yang memadai pula.
Ia mengatakan melalui pemanfaatan teknologi yang memadai, para pelaku industri kreatif bisa memproduksi barang secara massal dengan meningkatkan kualitas, kuantitas, dan keberlanjutan usahanya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu memikirkan solusi untuk mengatasi kendala yang dihadapi para pelaku industri kreatif. “Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong kalangan perbankan memberi kemudahan pinjaman modal, dan pemberian insentif kepada para pelaku industri kreatif,” katanya.
Bagi Yogyakarta sendiri, menurut dia keberadaan industri kreatif penting untuk mewujudkan kota kreatif. “Yogyakarta yang mengarah pada kota budaya, bisa menjadi penggerak perekonomian dengan berbagai jenis industri kreatif,” katanya.
“Jika Yogyakarta mampu menangkap peluang dengan cara mengembangkan pusat industri kreatif berbasis UKM (usaha kecil dan menengah) secara optimal, maka bisa menjadi kota dengan ekonomi kreatif,” katanya.
Andreas Nugraha melihat Yogyakarta memiliki angkatan kerja muda dan terdidik dalam jumlah besar, sehingga bisa bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia. “Apalagi selama ini komunitas kreatif di Yogyakarta terus tumbuh, meski belum terintegrasi secara tepat, namun setidaknya keberadaan komunitas tersebut bisa menopang perkembangan industri kreatif di daerah ini,” katanya.
Potensi Indonesia lebih besar
Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan, di antara negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, potensi Indonesia untuk berkembang di bidang industri kreatif jauh lebih besar. “Singapura jumlah penduduknya sedikit, dan pasarnya terbatas. Sedangkan Singapura banyak sekali batasan dan aturan,” katanya.
Selain faktor itu, kata dia, jumlah pengusaha muda di Indonesia paling banyak. Namun, setiap kali terjadi krisis investasi, jumlahnya selalu menurun.
“Oleh karena itu, kami dorong pengusaha muda, beri mereka kavling-kavling, seperti di MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah cukup berada di belakang. Setelah para pengusaha muda ini kuat, investor pasti akan datang sendiri,” kata Edy.
Namun, menurut dia, yang disayangkan adalah potensi industri kreatif tidak banyak mendapat dukungan dari investor lokal. Investor yang banyak tertarik dengan potensi industri kreatif justru datang dari luar negeri.
“Pelaku industri kreatif perlu mendapat dukungan, mengingat untuk menjadi pengusaha, pelakunya yang rata-rata anak muda dan belum berpengalaman ini, butuh pelatihan dan mentoring. Menurut pengalaman, untuk sesi mentoring dan inkubasi bisnis saja membutuhkan dana sebesar Rp350 juta per orang,” katanya.
Sementara itu, menurut Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Hesti Indah Kresnarini, industri kreatif diperkirakan tumbuh sebesar 12 persen pada 2012. Pertumbuhan yang dilihat dari segi pencapaian ekspor tersebut relatif menurun dibanding realisasi 2010 sebesar 12,5 persen.
“Mengenai target, nanti dilihat sesuai evaluasi. Apakah naik atau turun, tergantung kondisi juga. Apalagi tahun depan ada potensi perlambatan ekonomi dunia,” katanya, belum lama ini.
Ia mengatakan pemerintah memiliki cetak biru pengembangan industri berbasis ide yang terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, periode 2010-2015, disebut tahap penguatan ditargetkan bisa tumbuh sekitar 11persen hingga 12 persen setiap tahun.
Kemudian tahap kedua, periode 2016-2025, disebut tahap akselerasi, yang diharapkan bisa tumbuh antara 12 persen sampai 13 persen.
Tercatat, ekspor industri kreatif pada 2010 sebesar 131,3 miliar dolar AS. Dari total ekspor industri kreatif itu, sekitar 54,8 persen disumbang subsektor “fashion”.
Penyumbang terbesar berikutnya adalah subsektor kerajinan yang berkontribusi 42,6 persen terhadap total ekspor industri kreatif. Subsektor kerajinan itu juga menyumbang sekitar 3,95 persen terhadap total ekspor Indonesia. Industri kreatif sendiri, secara keseluruhan memiliki porsi sekitar 9,25 persen dari total ekspor Indonesia.
Menurut Hesti, “fashion” masih yang terbesar kontribusinya. “Makanya, kita akan fokus untuk pengembangan ekspor `fashion`,” katanya.
12 subsektor berpotensi
Industri kreatif, kata Hesti Indah Kresnarini, sebenarnya tidak hanya terfokus pada “fashion” dan kerajinan. Ada sekitar 12 subsektor lainnya yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi penyumbang ekspor Indonesia. Ke-12 subsektor tersebut yaitu arsitektur, desain, film/video/fotografi, layanan komputer/peranti lunak, musik, pasar barang seni, penerbitan/percetakan, periklanan, permainan kreatif, riset/pengembangan, seni pertunjukan, serta televisi/radio.
Ia mengatakan untuk mendorong perkembangan industri kreatif yang masih terkendala permodalan, akan diupayakan melalui pengajuan skema pembiayaan khusus pada Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Hesti menilai, skema pembiayaan itu nantinya bisa dilakukan oleh lembaga khusus bank atau nonbank yang khusus menyalurkan pembiayaan bagi industri kreatif.
Sayangnya, kata dia, upaya tersebut masih sekadar wacana. “Sambil menanti skema itu, industri kreatif bisa mengajukan pembiayaan pada beberapa bank seperti BNI dan BRI yang memberikan kemudahan bagi sektor tersebut,” katanya.
Ia mengatakan pemerintah menargetkan industri kreatif dapat memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2011 hingga 2015 sebesar 7-8 persen. Sedangkan untuk target ekspor, industri kreatif pada periode yang sama sebesar 11-12 persen.
“Untuk menunjang tercapainya target tersebut, pemerintah akan mengidentifikasi industri kreatif di beberapa daerah, dengan mendirikan balai industri kreatif desa, kemudian pelatihan ekspor agar mereka mengerti sebagai pelaku ekspor, serta melakukan sosialisasi pengembangan ekonomi kreatif,” kata Hesti.
Dia menyebutkan daerah sentra industri kreatif yang bakal dibidik pemerintah di antaranya Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Bali.
Hesti mengaku optimistis ekonomi kreatif dapat berkontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia. Setidaknya itu terbukti ketika industri kreatif mampu mengatasi krisis ekonomi global pada 2008. “Kementerian Perdagangan mencatat sumbangan industri kreatif terhadap PDB pada 2008 mencapai 7,28 persen, atau senilai Rp151 triliun,” katanya
(jh/JH/bd-ant)

Selasa, 27 September 2011

ENAM KENDALA DERA EKSPOR INDONESIA

Selasa, 27 September 2011, 09:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Enam persoalan utama mulai dari infrastruktur hingga sumber daya manusia masih menjadi kendala ekspor Indonesia. Enam masalah ini mencuat ketika Forum Ekspor yang terdiri dari Kementerian Perdagangan, pengusaha, dan asosiasi delapan produk unggulan ekspor berkumpul dan mengklasifikasi hambatan ekspor tersebut.
Masalah pertama yang mencuat ialah permasalahan regulated agent(RA) atau agen inspeksi. ”Beberapa negara memang mensyaratkan keamanan perdagangan yang cukup ketat seperti Amerika Serikat,” kata Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, RA ternyata juga menjadi masalah bagi pelaku ekspor dalam negeri. Seperti biaya yang meroket karena kewajiban membayar uang pemeriksaan sebesar Rp 1.200 per kilogram dan juga membayar biaya anggota sebesar Rp 25 juta per tahun kepada salah satu operator RA.
Padahal, hingga kini jumlah operator RA masih amat terbatas sehingga proses pemeriksaan berlangsung lambat. ”Ini artinya menghambat kelancaran arus barang,” paparnya. ”Apalagi Bagi perusahaan yang berada di kawasan berikat, kontainer yang sudah disegel itu harus kembali dibuka sehingga sangat tidak efisien.”
Selain itu, Mari juga menegaskan bahwa ekspor Indonesia juga didera masalah kedua yaitu ketenagakerjaan. Mulai dari Upah Minimum Regional (UMR), kualitas hingga masalah keterampilan sumber daya manusia. Begitu juga soal peraturan yang melingkupi UMR.
Ketiga, menurutnya, ialah peraturan iklim investasi dan izin usaha. Dalam catatan Kementerian Perdagangan, seringkali Pemerintah Daerah menerbitkan Perda yang menghambat iklim investasi dan usaha.
Keempat ialah pajak daerah dan pungutan liar yang termasuk dalam persoalan ekonomi biaya tinggi. Berdasarkan catatan Kemendag, beberapa Pemerintah Daerah sering kali menerbitkan Perda sebagai sumber APBD ditambah pungutan-pungutan liar.
Kelima ialah faktor keamanan barang dan jasa di mana seringkali bentuk premanisme menjadi kendala proses produksi dan distribusi industri. Terakhir ialah persoalan infrastrukur baik dalam hal transportasi dan sumber daya energi. ”Dari klasifikasi ini, Kemendag selanjutnya akan mengkoordinasikan penyelesaian hambatan tersebut dengan kementerian lainnya sehingga target pencapaian nilai ekspor 200 miliar dolar tahun ini bisa tercapai,” katanya.
 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates