Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Minggu, 29 Agustus 2010

TAK USAH HERAN DI INDONESIA YANG DIGLOBALISASI ADALAH KEMISKINAN

Tak Usah Heran di Indonesia yang Diglobalisasi adalah Kemiskinan
Sabtu, 28 Agustus 2010 , 15:33:00 WIB
Laporan: Teguh Santosa
RMOL. Indonesia telah 65 tahun lepas dari belenggu penjajah, namun hanya kurang dari 20 persen masyarakat yang benar-benar merdeka dan bagi mayoritas lainnya dalam kehidupan sehari-hari berbagai hak dasar yang dijamin Konstitusi malah diabaikan penguasa.
Pun setelah 65 tahun merdeka, Indonesia berada jauh di belakang negara-negara lain seperti Jepang, China, Korea, Singapura, dan Malaysia. Padahal di kurun 1950an dan 1960an negara-negara ini berada di situasi dan kondisi yang sama dengan Indonesia, bahkan lebih buruk.
Demikian disampaikan ekonom senior Rizal Ramli, Sabtu siang (28/8) di Jakarta, ketika mengomentari berbagai produk hukum dan perundangan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Jalan lambat dan bahkan mundur itu terjadi karena pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari jerat model pembangunan Washington Concensus yang menyandarkan diri pada utang dan asistensi lembaga konsultan asing. Ini yang membuat Indonesia selamanya tergantung pada negara lain. Ini juga yang membuat kebijakan pembangunan Indonesia menyimpang jauh dari Konstitusi: kesejahteraan menjadi barang mewah yang tidak bisa dijangkau oleh sebagian besar rakyat.
“Jadi salah besar Presiden SBY mengatakan dalam Pidato Kenegaraan bahwa haluan ekonomi Indonesia sudah benar,” ujar mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan ini.
Di sisi lain, Rizal juga mengatakan bahwa globalisasi sebetulnya bukan masalah besar dan tidak perlu ditakuti bila pemerintah menghadapinya dengan strategi dan persiapan yang bagus.
“Kalau ada strategi yang baik, kita bisa memetik untung. Karena ini adalah pintu menuju berbagai peluang, pintu untuk masuk ke pasar internasional. Tetapi, bila pemerintah tidak punya strategi yang baik, seperti saat ini, maka tidak usah heran Indonesia menjadi bulan-bulanan. Akhirnya, bagi kita yang diglobalisasi adalah kemiskinan,” katanya lagi. [guh]

INILAH PENJELASAN MENGAPA INDONESIA SULIT MAJU

Laporan: Teguh Santosa
RMOL. Pemerintah yang secara buta menghamba pada pemikiran neokolonialisme gemar menaikkan harga, seperti harga bahan makanan, energi, dan pendidikan nasional, dan menyesuaikannya dengan di pasar internasional.
Persoalannya, sebagian besar rakyat Indonesia memiliki “pendapatan Melayu”. Untuk kelompok masyarakat ini, kenaikan harga berarti jalan tol menuju kemiskinan massal dan ketimpangan struktural.
Indonesia seharusnya belajar bagaimana sejumlah negara Asia timur menyesuaikan diri dengan terlebih dahulu menaikkan pertumbuhan ekonomi sehingga mencapai dua digit, lalu menyediakan lapangan pekerjaan agar masyarakat memiliki pendapatan yang memadai sebelum perlahan-lahan menyesuaikan harga di pasar domestik dengan harga di pasar internasional.
“Sayangnya pemerintah Indonesia sudah kadung menjadi penyembah neoliberalisme dan ingin memperlihatkan pada dunia internasional bahwa Indonesia mampu sejajar dengan negara-negara Barat dalam hal harga barang,” jelas ekonom senior Rizal Ramli ketika mengomentari klaim keberhasilan pembangunan pemerintahan SBY, di Jakarta (Sabtu, 28/8).
Selain itu, dia juga menyesalkan kecenderungan pemerintah Indonesia menggantungkan diri pada pendapatan yang diperoleh dari ekspor bahan mentah dan aliran uang panas di dalam negeri.
Menggantungkan diri pada ekspor barang mentah, sebut mantan Menko Perekonomian ini, sama artinya dengan mengekspor lapangan kerja, keuntungan dan nilai tambah. Akhirnya, yang beruntung adalah negara lain.
Ketergantungan pada ekspor bahan mentah khususnya energi, seperti minyak bumi dan batubara ini juga lebih cepat membawa Indonesia ke lubang kubur. Pasalnya, dalam rata-rata 40 tahun lagi cadangan minyak dan batubara Indonesia akan habis.
Hal lain yang memperparah kondisi perekonomian sebagian besar rakyat Indonesia adalah kecenderungan pemerintah untuk memberikan kesempatan pada perusahaan asing mengontrol sumber daya alam. Hal ini dilakukan walaupun sebenarnya berseberanyan dengan konstitusi ekonomi nasional.
“Padahal, bila sumber daya alam itu dikelola dengan baik oleh perusahaan negara, maka pendapatan yang diperoleh dari sektor ini dapat digunakan untuk membiayai pendidikan generasi muda dan meningkatkan kesejahteraan,” demikian Rizal. [guh]

INILAH DUA HAL YANG MELAHIRKAN UU PRO ASING

Laporan: Ari Purwanto
RMOL. Sudah menjadi rahasia umum banyak UU pro asing karena dalam merancang UU pemerintah menggunakan banyak lembaga asing sebagai konsultan, sementara Parlemen tak memiliki kapasitas untuk menelaah.
Politisi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menjelaskan bahwa SBY dengan bangga melaporkan kepada United States Agency for International Development (USAID) bahwa banyak UU bidang energi yang sesuai dengan pesanan asing.
“Kalau yang bidang energi, Pak SBY bicara di website USAID melaporkan sesuai (pesanan). Dan Pak Revrisond (Baswier) yang bilang itu. Lalu Pak Kwik Kian Gie yang bicara bahwa paket UU bidang keuangan ditongkrongi IMF dan World Bank,” ujar Eva kepada Rakyat Merdeka Online, Sabtu (28/8).
Hingga sekarang, proses konsultasi itu masih berlangsung.
“Harus dipahami bahwa salah satu kunci masalahnya ada di pembuatan draft RUU. Di sisi lain DPR tidak memiliki kapasitas untuk menelaah masalah ini. Kita lihat kan DPR baru benar setelah reformasi. Saat reformasi dimulai rekruitmen partai juga belum jelas, banyak yang belum punya ketrampilan. Badan Legislatif saja baru muncul tahun 2005,” lanjutnya.
Masih menurut Eva, persoalan ini harus dijadikan refleksi dan dicarikan jalan keluarnya.
“DPR belum punya kerangka semacam check list UU dan RUU kepentingan nasional. Itu yang harus dikembangkan oleh Badan Legislasi untuk menekan UU pro asing,” lanjutnya. [arp]

Selasa, 10 Agustus 2010

INDONESIA TERANCAM JADI NET IMPORTIR

Indonesia terancam jadi net importir
Written by Maria Y. Benyamin, Tuesday, 10 August 2010 16:29
JAKARTA-bisnis.com: Pertumbuhan ekspor non migas yang lebih kecil dibandingkan dengan  pertumbuhan impor dinilai sangat berpotensi menggiring Indonesia menjadi net importir, sehingga perlu didorong peningkatan penggunaan produk lokal untuk menghambat laju impor ke Tanah Air.
Ketua Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) Kadin Indonesia Natsir Mansyur mengatakan dalam kurun waktu 2005-2009, rata-rata pertumbuhan ekspor non migas tercatat sebesar 13,3%, sementara pertumbuhan impor sebesar 15,4% dengan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan sebesar 4,4%.
Angka rata-rata pertumbuhan itu, kata Masyur, memperlihatkan pertumbuhan impor yang lebih besar dibandingkan dengan ekspor.
“Dengan arus barang impor yang lebih deras tersebut, maka potensi menjadi net importir cukup besar,” kata Natsir di sela-sela Sosialisasi Peraturan Presiden No.54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hari ini.
Menurut Natsir, masuknya produk impor ke Tanah Air akan sangat sulit dibendung, kendati  telah ada sejumlah langkah pengamanan domestik. Pengamanan itu di antaranya melalui penguatan kelembagaan seperti Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), technical barrier melalui standardisasi dan sertifikasi, dan pengawasan di pelabuhan dan di pasaran, langkah pengamanan pasar domestik harus diperkuat melalui perilaku konsumen.
“Untuk itu, fokus kerja kami adalah bagaimana meningkatkan kecintaan terhadap produk dalam negeri sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar produk lokal di pasar domestik dan pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan impor produk jadi ke dalam negeri,” tegas Natsir.
Dia menjelaskan potensi konsumsi masyarakat dan pemerintah dalam menopang pasar domestik sebetulnya sangat besar, karena belanja masyarakat dan pemerintah tersebut terus bertumbuh setiap tahunnya.
Belanja masyarakat yang pada 2005 sekitar Rp1.786 triliun tumbuh signikan hingga mencapai Rp3.320 triliun pada 2009. Adapun  belanja pemerintah mengalami kenaikan setiap tahunnya dari Rp225 triliun pada 2005 menjadi Rp503 triliun pada 2009.
Menurut Natsir, ada ketimpangan yang sangat jauh antara belanja pemerintah dan belanja konsumen. Belanja pemerintah, kata dia, sebenarnya masih berpotensi ditingkatkan dari kondisi saat ini.
“Kalau belanja masyarakat tentu tidak bisa dipaksakan karena seringkali tergantung pada selera dan dihadapkan dengan persoalan harga. Nah, yang bisa didorong untuk menopang pertumbuhan pasar domestik adalah belanja pemerintah,” katanya.
Natsir mengatakan  apabila potensi belanja pemerintah yang kini mencapai Rp500 triliun itu bisa digarap dengan baik, hal itu akan menjadi jaminan pasar bagi produk dalam negeri. “Penggunaan produk dalam negeri di kementerian atau lembaga pemerintah melalui belanja barang dengan menggunakan APBN adalah guaranteed market bagi produk-produk dalam negeri.”
Dia menggambarkan potensi peningkatan penggunaan produk dalam negeri di pemerintah. Total belanja barang dan belanja modal pemerintah pusat pada APBN 2009 naik sebesar 23,4% dari Rp128,7 triliun pada 2008 menjadi Rp158,8 triliun pada 2009.
Pada APBN 2010 diproyeksikan pertumbuhan belanja barang dan modal naik 19,2% menjadi Rp188,3 triliun.
Sementara itu, pertumbuhan belanja modal dan operasional 63 BUMN strategis pada 2009 mencapai Rp950,78 triliun atau hampir sama dengan 95% dari total APBN pada 2009 sebesar Rp1000,8 triliun.
“Bayangkan berapa besar potensi dari belanja pemerintah dan BUMN yang bisa kita serap dari pasar domestik. Tentu sangat besar dan ini tidak perlu lari ke produk impor kalau memang sudah bisa kita penuhi dari pasar dalam negeri,” katanya.
Masih rendah
Natsir mengakui tingkat penggunaan produk dalam negeri saat ini masih rendah karena beberapa hal di antaranya sosialisasi Kepres No.80/2003 dan Inpres 2/2009 yang belum tersosialisasikan dengan baik.
Sementara di sisi lain, pemahaman instansi pemerintah mengenai batasan produksi dalam negeri belum sama. Adapun program di masing-masing kementerian masih berupa himbauan dan usulan tanpa pengenaan sanksi yang tegas, sehingga cenderung dilanggar.
“Oleh karena itu melalui Peraturan Presiden yang baru yakni Perpres No.54/2010, diharapkan ada kebijakan yang lebih tegas dan sosialisasi yang lebih baik, sehingga dapat menjamin terserapnya produk dalam negeri di dalam belanja pemerintah,” tuturnya.

KWIK: EKONOMI INDONESIA TETAP DUALISTIK

Written by ANTARA News
Tuesday, 10 August 2010 10:57

MALANG (ANTARA NEWS) – EKONOM KWIK KIAN GIE, MENGEMUKAKAN SAMPAI 65 TAHUN INDONESIA MERDEKA DARI BELENGGU PENJAJAHAN, SISTEM PEREKONOMIAN DI NEGERI INI MASIH TETAP DUALISTIK SEPERTI YANG DITERAPKAN OLEH PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA.

“Hanya saja kedudukan bangsa penjajah sekarang ini digantikan oleh sekelompok kecil elite bangsa Indonesia, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama dengan mitra asing,” tegas Kwik ketika berbicara dalam Seminar Refleksi 65 Tahun Kemerdekaan Ekonomi Indonesia di Malang, Kamis.

Terutama, lanjut Kwik, perusahaan yang padat modal dan teknologi, mitra Indonesianya hanya berfungsi sebagai agen atau komprador dalam perampokan kekayaan alam di wilayah Republik Indonesia tercinta ini.

Kalau dahulu, katanya, penjagaan bayonet dan bedil rakyat Indonesia dipaksa menanam rempah-rempah dengan gaji segobang sehari, sekarang dengan landasan undang-undang yang legal dan praktik KKN, segelintir orang Indonesia dan perusahaan asing mengeruk dan memiliki kekayaan alam negeri ini.

Menurut dia, dibandingkan dengan perolehan para kolonialis Belanda, nilai yang diambil oleh bangsa asing di alam kemerdekaan ini justru beribu-ribu kali, bahkan berdampak pada perusakan lingkungan serta terkurasnya mineral yang tidak terbarukan.

Penerapan sistem ekonomi dualistik tersebut, tegasnya, sangat jelas terlihat. Bentuk badan hukum dari semua kegiatan usaha di Indonesia sudah diatur dalam UUD 1945, yakni koperasi, bukan kumpulan modal, di mana hak suara setiap orang sebanding dengan modal yang dimilikinya.

Sementara yang terjadi di Indonesia, ujarnya, jumlah usaha kecil (UMKM) sebanyak 49.640.469 dan jumlah perusahaan besar hanya 4.527 perusahaan. Namun, dalam sumbangan pendapatan domestik bruto (PDB) sangat tidak seimbang, masing-masing 54 persen (UMKM) dan 46 persen (perusahaan besar).

Jika di rata-rata, setiap perusahaan besar mampu menyumbang PDB sebesar Rp406 miliar per tahun, sedangkan UMKM hanya mampu menyumbang PDB sebesar Rp43 juta per tahun. Artinya, setiap perusahaan besar mampu menyumbang 9.400 kali lipat dari sumbangan UMKM.

“Jadi jangan heran, meskipun kita sudah merdeka 65 tahun lalu, kondisi ekonomi kita tidak pernah beranjak menjadi lebih baik karena dualistik itu menciptakan kesenjangan yang cukup dalam,” ucap Kwik menegaskan.
 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates