Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Selasa, 28 September 2010

CIPUTRA: INDONESIA BELUM SEJAHTERA

Written by Aloysius Budi Kurniawan

Tuesday, 28 September 2010 11:09

SURABAYA, KOMPAS.COM – BEGAWAN PROPERTI INDONESIA DR IR CIPUTRA MERAYAKAN ULANG TAHUNNYA YANG KE-79, JUMAT (24/9/2010) DI UNIVERSITAS CIPUTRA, SURABAYA. DI USIANYA YANG HAMPIR MENCAPAI DELAPAN DEKADE INI, CIPUTRA MERASA GELISAH DENGAN TINGGINYA TINGKAT PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA. MENURUTNYA, JIKA SITUASI INI TAK SEGERA DITANGANI, MAKA DALAM 25 TAHUN KE DEPAN, KONDISI MASYARAKAT INDONESIA TIDAK AKAN BERUBAH.

“Indonesia sudah merdeka selama 65 tahun, tapi kondisi masyarakat kita belum sejahtera. Tingkat pengangguran mencapai sembilan persen dan tingkat kemiskinan mencapai 13 persen. Bahkan, saat pendataan pemberian jaminan kesehatan masyarakat, tercatat sekitar 27 persen penduduk kita masih miskin,” kata Ciputra di sela perayaan ulang tahunnya ke-79.

Tak hanya itu, Ciputra juga gelisah dengan banyaknya sarjana pengangguran yang mencapai kisaran 20 persen. “Tanpa adanya gebrakan kebijakan dari pemerintah, maka kondisi Indonesia dalam 25 tahun ke depan tak akan banyak berubah,” katanya.

“Sekitar 50 tahun lalu, pendapatan per kapita Indonesia dengan Malaysia sama. Tapi, saat ini situasinya jauh berbeda. Indonesia jauh tertinggal karena pendapatan per kapita Malaysia melonjak sekitar 2,5 kali lipat dari per kapita Indonesia,” ucapnya.

Pro-kemakmuran

Menurut Ciputra, tiga tekad pemerintah saat ini, yaitu pro-job (peningkatan pekerjaan), pro-poor (keberpihakan pada kaum miskin), dan pro-growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi) belumlah cukup. Satu hal yang perlu ditambah adalah pewujudan kemakmuran bagi seluruh rakyat (pro-prosperity).

“Ada satu cara agar masyarakat sejahtera dan makmur, yaitu melalui penciptaan lapangan pekerjaan dan usaha. Ini semua hanya bisa diatasi dengan wirausaha,” kata Ciputra.

Dengan pengalamannya membidani Ciputra Group selama 29 tahun serta kiprahnya pada dunia properti selama berpuluh-puluh tahun, Ciputra yakin dunia, khususnya Indonesia saat ini membutuhkan senjata pamungkas untuk memerangi pengangguran dan kemiskinan melalui kewirausahaan.

Dalam rangka menularkan jiwa kewirausahaan, Ciputra mendirikan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center. Ia juga memberikan pelatihan kewirausahaan pada sekitar 2.000 dosen dari seluruh Indonesia. Sebanyak 20 dosen juga diajak menjalani pelatihan kewirausahaan di luar negeri.

Besok, Sabtu (25 /9/2010), Universitas Ciputra Surabaya yang konsen pada pendidikan kewirausahaan akan meluluskan 145 mahasiswa. Dari total 145 lulusan itu, sebanyak 103 lulusan di antaranya langsung bekerja atau memulai bisnis pribadi. Hadir pula dalam wisuda perdana ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal.

“Dari 103 lulusan yang langsung bekerja itu, beberapa di antara mereka baru mulai kerja perdana, namun sebagian lain memang sudah merintis bisnis jauh-jauh hari,” kata Rektor Universitas Ciputra Surabaya, Tony Antonio.

PKL BUKAN LAGI PEDAGANG KAKI LIMA

PKL Bukan Lagi Pedagang Kaki Lima
Written by Martina Prianti/Kontan
Tuesday, 28 September 2010 10:09

JAKARTA, KOMPAS.COM — PEMERINTAH MENGKLAIM SAAT INI TENGAH MEMBENAHI KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL). CARANYA DENGAN MEMBERIKAN KARTU PENGENAL DAN MEMBUKA PELUANG KERJA SAMA DENGAN SWASTA.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengatakan, dalam rangka pembenahan itu, pemerintah juga mengganti nama pedagang kaki lima menjadi pedagang kreatif lapangan. Tujuannya, untuk memudahkan koordinasi antara pemerintah pusat, swasta, dan pemerintah daerah.

“Dalam nota kesepahaman tiga menteri (Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Urusan Koperasi dan UKM). Nanti PKL akan diberikan kartu anggota atau tanda pengenal dan ada lokasi sehingga memudahkan kementerian terkait mendata ketika memberikan bantuan,” ucap Mari di kantor Menko Perekonomian, Senin (27/9/2010).

Menurut Mari, dengan adanya penertiban pengelolaan PKL, wilayah perkotaan atau wilayah tempat berdagang PKL bisa semakin tertata dan bersih sehingga tidak merusak wajah kota. “Intinya adalah PKL di pinggir jalan diberdayakan, tetapi tidak digusur,” lanjutnya.

Terkait dengan hal itu, Mari melanjutkan, pemerintah mengimbau agar PKL tidak takut dengan program tersebut. Alasannya, dengan penertiban, cara berdagang bisa lebih rapi dan tertata serta memudahkan pemerintah memonitor perkembangan PKL.

Sementara itu, Ardiansyah Parman, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, mengatakan, penataan PKL akan memberikan keuntungan bagi PKL itu sendiri dan pihak swasta. “Perlu diingat, PKL itu termasuk sektor informal dan di Indonesia sektor tersebut sangat besar,” katanya.

Menurut Ardiansyah, pemerintah berharap pemerintah daerah juga tergugah memberikan fasilitas kepada PKL. Bisa saja dengan menyediakan ruang berdagang yang representatif. “Tadi sudah diimbau agar semua gubernur atau wali kota daerah bisa menyediakan fasilitas untuk itu,” katanya.

Sabtu, 25 September 2010

DIDIK J RACHBINI: BANK DUNIA KEMBALI BAWA INDONESIA KE JURANG KRISIS UTANG

Didik J Rachbini: Bank Dunia Kembali Bawa Indonesia ke Jurang Krisis Utang
Sabtu, 25 September 2010 , 17:17:00 WIB
Laporan: Ari Purwanto
RMOL. Strategi kebijakan ekonomi dan utang luar negeri yang bersifat parsial, sama sekali tidak memperhitungkan aspek pembangunan kelembagaan.
Bank dunia dinilai sebagai aktor penting dan utama dalam transaksi utang luar negeri Indonesia. Kebijakan liberalisasi keuangan dari Bank Dunia yang ekstrim dan sembrono turut menggiring ekonomi nasional masuk ke jurang krisis.
Hal ini diungkapkan oleh pengamat ekonomi politik terkemuka, Prof. Dr. Didik J Rachbini dalam Kuliah Umum bertema “Ekonomi Politik Baru dan Beban Utang Negara”, yang digelar oleh Sekolah Pascasarjana Magister Sains Manajemen Universitas Pascasarjana (Unas), Sabtu (25/9).
Dalam paparannya, Didik mengatakan, aspek mendasar yang menjadi akar masalah dalam kebijakan ekonomi dan utang luar negeri Indonesia yang saat ini sudah mencapai Rp 2.000 triliun adalah kelemahan kelembagaan penopang kebijakan dan watak perilaku aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
“Institusi birokrasi adalah bagian dari proses ekonomi politik yang berperan besar terhadap pembangunan ekonomi. Birokrasi sebagai cost maximizer menciptakan mark up, inefisiensi, pemborosan dan praktik korupsi yang masif. Penyakit-penyakit itu berjangkit bersama dengan perilaku sebagai empire builders, yang sekaligus merupakan bagian dari krisis ekonomi yang fatal,” ungkapnya. [arp]

Kamis, 23 September 2010

TERNYATA RAKYAT INDONESIA MASIH MISKIN

Written by KOMPAS
Thursday, 23 September 2010 13:39

JAKARTA, KOMPAS.COM — MESKI TARGET PENGURANGAN ANGKA KEMISKINAN EKSTREM DAN KELAPARAN SEBAGAI SALAH SATU SASARAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM TERCAPAI, PADA KENYATAANNYA RAKYAT INDONESIA MASIH MISKIN. PENDAPATAN 1 DOLLAR AS (KURANG DARI RP 9.000) PER HARI TIDAK CUKUP UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP SEHARI-HARI.

Utusan khusus Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), Nila Djuwita Moeloek, mengemukakan hal tersebut seusai acara Parliamentary Stand Up For MDGs di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Jumat (17/9/2010) pekan lalu.

Tanggal 20-22 September 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi untuk mengecek kemajuan MDGs. Sekitar 150 kepala negara akan hadir. Delegasi Indonesia dipimpin Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Semua negara harus melaporkan tingkat pencapaian sasaran-sasaran MDGs.

Nila selanjutnya mengatakan, untuk pengurangan angka kemiskinan, Indonesia masih tetap pada jalurnya. Namun, dengan ukuran kemiskinan, yakni pendapatan di bawah 1 dollar AS per hari per orang, tentu dipertanyakan kualitas hidup yang dijalani masyarakat dengan pendapatan tepat di ambang batas itu, ataupun sedikit di atasnya yang menurut ukuran itu tidak tergolong miskin.

Proyek global MDGs terdiri atas 8 sasaran yang mencakup pengurangan angka kemiskinan ekstrem dan kelaparan, peningkatan angka partisipasi pendidikan primer, peningkatan kesehatan ibu, pengurangan angka kematian anak, penyebaran HIV/AIDS, kesetaraan jender, kepastian lingkungan yang berkelanjutan, dan peningkatan kemitraan global.

Saat ini Indonesia memilih menetapkan ambang batas kemiskinan pada pendapatan 1 dollar AS per hari per orang. Angka yang dicapai Indonesia menunjukkan perbaikan.

Tahun 1990, sekitar 20,6 persen penduduk pendapatannya di atas 1 dollar AS per hari. Tahun 2010, dari hasil sensus penduduk, menurut analis Kampanye dan Advokasi MDGs PBB di Indonesia, Wilson TP Siahaan, angka itu menjadi sekitar 13,33 persen jumlah penduduk, atau ada 31,02 juta penduduk miskin, dari data BPS per Maret 2010.

Menurut Nila, target-target yang dianggap telah on track sekalipun masih harus dilihat secara lebih detail. Di bidang pendidikan, misalnya, angka partisipasi murni (APM) untuk pendidikan dasar telah naik menjadi 95,14 persen pada tahun 2008 dibandingkan angka partisipasi murni tahun 1993 yang mencapai 91,23 persen.

Tak jauh beda dari pandangan Nila, Wilson melihat pencapaian MDGs Indonesia bagaikan potret bercampur. Di satu sisi, beberapa sasaran, seperti pengurangan kemiskinan, telahon track. Namun, kinerja dalam pengentasan rakyat dari kemiskinan tetap menjadi masalah. Selama periode 1990-2010, kemiskinan hanya turun 1 persen.

Berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 persen (27,2 juta orang miskin) dan pada tahun 2009 kemiskinan 14,15 persen (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 ada sekitar 31,7 juta orang miskin. ”Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 persen. Hanya saja, penurunan tidak cukup kencang dalam waktu 11 tahun,” ujarnya.

Masalah keadilan

MDGs yang dikemas dengan bungkus globalisasi, menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, sebagai proyek internasional dan komitmen bersama guna mengurangi kemiskinan, MDGs seakan terlepas dari masalah ketidakadilan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Palupi mengungkapkan, hal yang paling mendasar untuk melihat MDGs adalah dengan perspektif hak asasi manusia. Menurut dia, kapabilitas orang miskin harus ditingkatkan melalui pendidikan, peningkatan kesehatan, dan penyediaan kesempatan bekerja. Dengan demikian akan muncul kemandirian menghidupi diri sendiri dan keluarganya.

Ia mencontohkan, sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati 40 persen penduduk (golongan menengah) dan 20 persen (golongan terkaya). Sisanya yang 40 persen (penduduk termiskin) semakin tersingkir. Porsi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin menurun dari 20,92 persen pada tahun 2000 menjadi 19,2 persen tahun 2006.

Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah dan target MDGs yang bertentangan. Di satu sisi, sasaran MDGs ialah menjamin kelestarian lingkungan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Namun, pemerintah justru melakukan perusakan sistematis terhadap lingkungan.

Pemerataan

Persoalan MDGs tidak bisa dipandang sebatas angka secara nasional, tetapi harus dilihat bagaimana pemerataan pencapaiannya di seluruh bagian Indonesia. Hal itu dikemukakan Divisi Monitoring Kebijakan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.

Ade berpendapat, di Indonesia bagian timur yang lebih tertinggal dibandingkan dengan bagian Indonesia lain, masalahnya akan sangat kompleks ditambah dengan kondisi geografis yang menjadi tantangan tersendiri.

Perlu pemetaan daerah yang kaya dan minus sehingga kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sasaran. ”Selain itu, bias kebijakan juga harus dihindari. Permasalahan sebenarnya ada di daerah, tetapi penyelesaiannya menggunakan asumsi kota,” ujarnya. Menurut dia, penyelesaian masalah tidak bisa instan dan top down. ”Warga perlu terlibat dalam pembuatan kebijakan sehingga kebijakan dapat menjawab masalah-masalah mereka,” kata Ade.

Secara umum, menurut Wilson, Indonesia jelas lebih baik daripada negara-negara di Afrika dan India karena populasinya lebih sedikit. Di samping itu, Indonesia mempunyai potensi besar dalam hal pendanaan, institusi, dan sumber daya manusia. Persoalannya ialah memastikan di tingkat bawah akan efektivitas program dan kekonkretannya. Menurut Wilson, MDGs adalah alat untuk melihat akuntabilitas pemimpin kepada masyarakat dalam perbaikan kesejahteraan.

Sementara Nila menegaskan, arah pemerintah selama ini sudah benar karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki semangat pro-poor, pro-growth, dan pro-job.Rencana pemerintah untuk mencapai semua sasaran MDGs tergambar pula dalam rencana pembangunan berjangka yang telah disusun.

SETENGAH ABAD PENGINGKARAN UUPA 1960, SETENGAH ABAD PENINDASAN TERHADAP PETANI

Setengah Abad Pengingkaran UUPA 1960, Setengah Abad Penindasan terhadap Petani
Kamis, 23 September 2010 , 00:08:00 WIB

Laporan: Ari Purwanto

RMOL. Lima puluh tahun yang lalu, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA) disahkan sebagai payung hukum agraria di
Indonesia dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial.

UUPA 1960 adalah realisasi dari UUD 1945 pasal 33 yang mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun demikian, 50 tahun sejak UUPA diundangkan, nasib petani di Indonesia tetap dalam keadaan terpuruk. Kepemilikan lahan yang sempit (< 0,3 ha)
ditambah dengan jatuhnya harga-harga disaat panen menjadikan petani hidup dalam keadaan tidak layak. Berbagai usaha petani untuk mendapatkan hak atas tanah
seringkali berhadapan dengan kriminalisasi.

Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia hingga tahun 2010 tinggal 12,870.000 ha menyusut 0,1 % dari tahun sebelumnya 12,883.000 ha. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin besar ini jika dibiarkan akan menjadikan kerawan pangan
pada masa yang akan datang, bahkan kelaparan pun akan semakin menggejala.

Hal ini ditambah dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tentang Gabah dan Beras sebagai mekanisme perlindungan terhadap nasib rumah tangga petani sawah yang tidak efektif. HPP masih menguntungkan segelintir pedagang, mekanisme
pengawasan masih sangat lemah.

Pemerintah Indonesia dalam APBN 2010 telah mengalokasikan subsidi pupuk sebesar Rp 14,8 triliun. Angka subsidi itu terdiri atas subsidi harga pupuk sebesar Rp 11,3 triliun turun dari yang seharusnya 17,5 triliun, bantuan langsung pupuk (BLP) Rp 1,6 triliun dan subsidi unit pengolahan pupuk organik sebesar Rp 105 milliar.Pengurangan subsidi ini akan memberikan dampak yang nyata bagi rumah tangga petani, sebab harga eceran tertinggi pupuk dipastikan akan naik.

Pengalaman menunjukkan, dengan adanya kelangkaan pupuk dan disertai dengan mahalnya harga menyebabkan turunnya produktifitas tanaman padi dan pada
gilirannya akan mengakibatkan turunnya kesejahteraan petani.

Melihat fakta diatas, Panitia Peringatan Hari Tani Nasional Ke-50 menuntut kepada pemerintah Indonesia dalam ini Presiden Republik Indonesia, DPR RI, Kementrian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian untuk melakukan redistribusikan 9,6 juta ha tanah kepada rakyat tani.

“Tertibkan dan dayagunakan tanah terlantar untuk reforma agraria. Bentuk Komisi Adhoc untuk menyelesaian konflik agraria dan Pelaksana Reforma Agraria. Dan cabut UU sektoral seperti perkebunan, kehutanan, sumber daya air, pangan, pertambangan, penanaman modal, sistem budidaya tanaman, perlindungan varietas tanaman dan lainnya. Ini karena bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960,” aktivis Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Rifai, (22/9).

“Tolak kriminalisasi petani dalam penyelesaian konflik agraria dan buat UU Hak Asasi Petani. Naikkan HPP Gabah dan Beras sebesar 20%. Bulog harus membeli langsung ke petani dan jadikan tanggal 24 september sebagai Hari Tani Nasional,” lanjutnya. [arp]

Selasa, 21 September 2010

KRAN IMPOR BERAS DIBUKA SELUAS-LUASNYA, MIMPI BURUK BAGI PERTANIAN INDONESIA

Laporan: Ari Purwanto

RMOL.Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI) menolak dengan tegas rencana Pemerintah yang akan membuka kran impor seluasnya bagi pemasukan beras karena akan berdampak sangat buruk bagi pertanian padi di tanah air.

Henry Saragih, Ketua Umum DPP SPI, mengatakan serikat petani tidak dapat menerima rencana Pemerintah memberi perizinan importasi beras. “Kami dengan tegas menolak rencana ini karena begitu banyak dampak ikutan yang akan ditimbulkannya,” ujarnya, hari ini (21/9) di Jakarta.

Menurutnya, pemasukan beras impor sama sekali bukan menjadi solusi untuk mengantisipasi ancaman kekurangan stok nasional. Importasi beras, diyakininya malah akan melemahkan kemampuan Indonesia untuk memastikan ketersediaan pangan dalam negeri karena Indonesia akan terperangkap dalam spekulasi perdagangan pangan dunia.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) berencana memberikan perizinan importasi beras dengan alasan untuk memperkuat stok nasional. Deptan berdalih kebijakan ini bukan merupakan bentuk dari kegagalan kementerian tetap hanya sebagai ujud kewaspadaan Pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya ancaman ketersediaan beras akibat minimnya stok beras di Bulog yang hanya sebanyak 1,4 juta ton.

Importasi beras, lanjut Henry, akan sangat menekan produksi pangan yang dilakukan oleh para petani dan pada akhirnya komoditas beras akan bernasib sama dengan komoditas peternakan pertanian lain. Dimana selama ini komoditas-komoditas tersebut dipasok dari luar negeri meskipun dapat ditanam atau diproduksi dengan baik di Indonesia, seperti kacang kedelai, susu, daging dan tepung terigu.

Dan yang paling parah, kata Henry, yang juga Koordinator Umum La Via Campesina, importasi beras akan menghabiskan begitu banyak devisa negara. Diperkirakannya, anggaran yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengimpor komoditas-komoditas itu saja sudah mencapai US$5 miliar per tahun.

“Karena itu kami menganggap rencana kebijakan impor beras ini menunjukkan Pemerintah telah gagal menyiapkan ketersediaan pangan nasional,” tegasnya. Padahal, menurutnya Pemerintah dapat mengeluarkan berbagai kebijakan yang efektif untuk masalah ini, seperti dengan mengintegrasikan pasokan beras yang ada pada petani dan masyarakat.

Selain itu, katanya, Pemerintah juga dapat mengintegrasikan beras yang ada di tangan para spekulan agar dapat dikelola oleh Bulog. “Tarik beras dari para spekulan, dengan mengeluarkan keppres misalnya, supaya mereka tidak terus-terusan melakukan penimbunan beras,” sambungnya. Kebijakan-kebijakan ini ini menurutnya sangat mungkin dilakukan oleh Pemerintah dan serikat petani juga mendesak agar Pemerintah segera melakukannya.

Dimana pada saat peringatan Hari Tani Nasional (HTN) ke-50 pada 24 September 2010 nanti, serikat petani juga akan mendesakkan beberapa tuntutan lain kepada Pemerintah untuk melakukan pembaruan agraria. Diantaranya meredistribusikan segera 9,6 juta ha lahan kepada rakyat tani dan menertibkan 7 juta ha tanah terlantar untuk reforma agraria, kebutuhan pangan, energi dan perumahan rakyat.

Kemudian serikat petani juga akan menuntut pemerintah mengganti kebijakan revolusi hijau dengan model pertanian berkelanjutan (agro ekologis) dan juga menolak kebijakan korporatisasi pertanian (food estate). “Tuntutan-tuntutan itu akan kami sampaikan kepada Pemerintah dalam aksi nasional peringatan hari tani sekaligus mosi tidak percaya kepada Pemerintahan saat ini,” tegas Henry. [arp]

Senin, 13 September 2010

DAFTAR UTANG BARU PEMERINTAH DI SEMESTER I-2010

Senin, 13/09/2010 16:03 WIB
Wahyu Daniel – detikFinance
Jakarta – Selama semester I-2010 pemerintah Indonesia tercatat telah menandatangani 20 perjanjian utang baru dari berbagai lembaga sektor keuangan internasional. Dari 20 perjanjian tersebut, 8 masuk ke dalam pinjaman program dan sisanya masuk ke dalam pinjaman proyek.
Berdasarkan data yang dikutip dari Ditjen Pengelolaan Utang Negara, Senin (13/9/2010), komitmen utang luar negeri baru ini dikucurkan dalam 3 mata uang yaitu dolar AS, euro, dan yen.
Berikut daftar utang baru yang telah ditandatangani per 30 Juni 2010:
Pinjaman Program
  1. Development policy loan sebesar 8,997 miliar yen dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  2. Climate Change Program Loan III sebesar 27,195 yen dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  3. Climate Change Program Loan III sebesar US$ 300 juta dari Agence Française de Développement (AFD). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  4. Add.Finance BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebesar US$ 500 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk Kemendiknas.
  5. Indonesia climate change development sebesar US$ 200 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  6. Third national program comm.emp.rural sebesar US$ 785 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang ini untuk Kemendagri.
  7. Local Government Decentralization Project sebesar US$ 220 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang ini untuk Ditjen Pertimbangan Keuangan, Kemenkeu.
  8. Indonesia Infrastructure Finance Facility sebesar US$ 100 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk Ditjen Kekayaan Negara, Kemenkeu.
Pinjaman Proyek
  1. Indonesia Infrastructure Finance Facility sebesar US$ 100 juta dari Asian Development Bank (ADB). Utang ini untuk Ditjen Kekayaan Negara, Kemenkeu.
  2. Paiton Steam Power Plant sebesar 4,205 miliar yen dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Utang ini untuk PT PLN (Persero).
  3. Saguling Electric Power Sta.Rehab sebesar 1,303 miliar yen dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Utang ini untuk PT PLN (Persero).
  4. Reg.Solif Waste Management sebesar 3,543 miliar yen dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Utang ini untuk Ditjen Cipta Karya
  5. Third National Program sebesar US$ 149,98 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk Kementerian Pekerjaan Umum.
  6. Java-Sumatera Intercon Trans sebesar 36,994 miliar yen dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Utang untuk PT PLN (Persero)
  7. Java-Bali untuk sektor listrik sebesar US$ 50 juta. Utang dari Agence Française de Développement (AFD). Utang untuk PT PLN (Persero)
  8. 30 unit airport rescue and fire sebesar 13,49 euro dari Agence Française de Développement (AFD. Utang untuk Ditjen Perhubungan Udara
  9. Java-Bali Electricity ditribution sebesar US$ 50 juta dari ADB. Utang untuk PT PLN (Persero).
  10. Add.Finance Extend Java-Bali sebesar US$ 30 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk PT PLN (Persero).
  11. Straight Cap build program Lemhanas sebesar 3,695 juta dari Fortis Bank Spanyol. Utang untuk Lemhanas
  12. Straight Cap build program  Lemhanas sebesar 3,695 juta dari ICO, Spanyol. Utang untuk Lemhanas
Berdasarkan daftar tersebut, maka sampai semester I-2010 ada tambahan utang baru Indonesia sebesar US$ 2,484 miliar, 36,192 yen, dan 20,88 juta euro. Daftar utang tersebut belum termasuk pinjaman Alutsista untuk TNI dan Polri. (dnl/dnl)

Sabtu, 11 September 2010

KONDISI INFRASTRUKTUR INDONESIA MASIH JADI MASALAH SERIUS

Jumat, 10/09/2010 22:35:53 WIB

Oleh: Agust Supriadi
JAKARTA: Meski naik 10 peringkat, World Economic Forum (WEF) menilai minimnya dukungan infrastruktur masih menjadi masalah serius dalam meningkatkan daya saing Indonesia.
Edy Putra  Irawady, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perdagangan dan Perindustrian, mengungkapkan WEF menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat ke-44 dari 132 negara untuk periode 2010-201, meningkat dari periode sebelumnya ke-54 dari 131 negara. Perbaikan mutu pelayanan publik atau birokrasi menjadi pendorong utama peningkatan peringlat daya saing usaha tersebut.
“Infrastruktur masih menjadi masalah. Vietnam sebenarnya rangkingnya lebih cepat melompatnya dari pada kita.  Karena perbaikan infrastruktur. Lompatan kita yang tajam karena engine pelanyanan publik,” ujar dia ketika bersilaturahmi ke kediaman Menteri Perekonomian, hari ini.
Kendati demikian, lanjut Edy, peringkat daya saing Indonesia masih lebih baik ketimbang Vietnam meski masih di bawah Malaysia. Penaikan peringkat tersebut diyakini akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia karena akan membuka peluang bisnis yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Pemerintah sekarang sikapnya corporate state run economy. Artinya pemerintah bersikap seperti korporasi dalam menjalankan ekonomi , menjaga daya saing negara, menjaga daya saing swasta. Tidak bisa kita kasih subsidi, tapi APBN kita babar blas (berantakan). APBN harus bugar supaya rating investasi bagus. Makanya tidak bisa kita jual-jual insentif,” tuturnya.
Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian, mengaku belum puas dengan peringkat terbaru daya saing Indonesia versi WEF mengingat dukungan infrastruktur masih dianggap sangat kurang. Oleh karena itu, pemerintah menempatkan masalah infrastruktur sebagai pada posisi tertinggi untuk bisa segera dibenahi.
“Yang membuat (daya saing) kita agak berat adalah masalah infrastruktur. Oleh karena itu, kita sadar betul, untuk infrastruktur kita harus bertarung all out,” katanya.
Akan tetapi, lanjut Hatta, dengan kapasitas APBN yang terbatas, Indonesia akan sulit mengejar ketertinggalan di bidang infrastruktur. Karenanya, perlu dukungan modal dari swasta dan perusahaan-perusahaan pelat merah dengan menawarkan proyek-proyek kemitraan (public private partnership).
Selain pendanaan, menurut Hatta, sulitnya membebaskan lahan untuk proyek infrastruktur juga dinilai sebagai faktor penghambat daya saing Indonesia. Untuk itu, pemerintah akan segera memfinalisasi rancangan Undang-Undang Pembebasan Lahan untuk bisa diajukan ke DPR pada penghujung bulan ini atau paling lambat awal Oktober.
Kemudian, kata Hatta, rumitnya prosedur perizinan dan pelayanan investasi pada proyek-proyek PPP juga dinilai turut menghambat perbaikan infrastruktur di Tanah Air. Oleh sebab itu, buku PPP yang ada saat ini perlu dipertajam lagi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Jadi nanti kewenangan itu diberikan lebih banyak ke BKPM. Sementara pengolahan atau dapurnya ada pada kementerian dan Bappenas. Jadi kalau sudah masuk dalam PPP book, itu sudah available secara komersial. Jadi tidak perlu terlalu banyak, hanya 3-5 proyek saja,” jelasnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida S. Alisjahbana, mengatakan daya saing Indonesia jika diukur dari sisi bisnis dan inovasi sudah lumayan membaik. Hal tersebut sejalan dengan membaiknya potensi pasar menyusul daya beli masyarakat yang juga meningkat.
“Tetapi memang yang masih menajdi PR (pekerjaan rumah) kita adalah infrastruktur. Lalu masalah pendidikan yang kaitannya kepada pendidikan tinggi, itu yang juga harus dikejar,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan merilis perbaikan peringkat daya saing Indonesia 2010-2011 oleh WEF sejalan dengan kenaikan 18 peringkat dari sisi kesehatan makro ekonomi ke posisi 34. Akan tetapi, kondisi infrastruktur Indonesia yang berada pada posisi 82 masih menjadi sorotan serius, terutama menyangkut infrastruktur jalan (posisi 84) dan ketersediaan pasokan listrik (posisi 97).
Selain infrastruktur, hal lain yang juga harus diperhatikan adalah makin memburuknya kondisi kesehatan terutama yang berkaitan dengan tuberculosis (TBC), malaria dan tingginya angka kematian bayi yang  merupakan tertinggi di dunia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengatakan perbaikan peringkat daya saing Indonesia oleh WEF akan berpengaruh pula terhadap perbaikan peringkat kredit Indonesia ke depannya. Pasalnya, lembaga-lembaga internasional menetapkan sejumlah indikator yang hampir sama dalam mengukur tingkat perekonomian suatu negara.
“(Rating kredit) Indonesia untuk bisa menjadi investment grade biasanya butuh 1-1,5 tahun dari upgrade rating terakhir, kalau situasinya normal. Jadi semuanya, apakah itu peringkat CBS, credit rating, atau doing business, itu tetap in-line satu sama lain,” imbuhnya.(msb)

Senin, 06 September 2010

BAHAYA, MERAUKE FOOD AND ENERGY ESTATE ANCAM KEDAULATAN BANGSA !

Bahaya, Merauke Food and Energy Estate Ancam Kedaulatan Bangsa
Minggu, 05 September 2010 , 17:13:00 WIB
Laporan: Ari Purwanto
RMOL. Pembukaan hutan dalam jumlah besar terkait Proyek Merauke Integrate Food and Energi Estate (Mifee) akan berdampak pada berubahnya ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Demikian disampaikan Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Teguh Surya, Minggu (5/9).
“Selain itu kebutuhan air dalam jumlah besar dapat mengancam ketersediaan air warga,” ujarnya.
Sementara pemakaian pupuk kimia dan racun pestisida dalam jumlah besar beresiko mencemari lingkungan.
Selain itu Mifee yang akan memberikan kuasa bagi perusahaan skala besar swasta dan asing yang bermasalah, seperti Wilmar dan Sinar Mas akan memberikan masalah baru bagi Papua.
Teguh Surya menyatakan, diizinkannya perusahan-perusahaan itu ke Merauke, sama saja dengan mengajak swasta dan asing untuk membawa dan membuat masalah di Merauke karena perusahaan tersebut sumber malapetaka yang selama ini terjadi di Indonesia.
“Oleh karena itu Walhi meminta pemerintah untuk meninjau ulang proyek ini sebelum menimbulkan masalah besar di Papua,” lanjut Teguh.
Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai dengan melibatkan rakyat banyak terutama petani secara utuh dan terintegrasi dalam rencana pemenuhan pangan. Selama ini masalah pertanian justru ditimbulkan karena tingginya konversi lahan pertanian, kecilnya kepemilikan lahan petani dan lemahnya dukungan pemerintah.
M. Islah, Manager Kampanye Air dan Pangan Walhi menambahkan, “Akan lebih tepat jika pemerintah melakukan penataan ulang struktur kepemilikan lahan dan besungguh-sungguh mendukung usaha pertanian rakyat (Reforma Agraria), daripada menyerahkan urusan pangan kepada swasta karena beresiko pada kedaulatan bangsa,” ungkapnya tegas. [arp]
 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates