Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Kamis, 28 Oktober 2010

PERLU PERSPEKTIF BARU SUMPAH PEMUDA

Kamis, 28 Oktober 2010 00:00 WIB
Delapan puluh dua tahun sudah berlalu sejak para pemuda dengan semangat perubahan dan pembaruan, dengan satu prinsip, satu tekad dan satu cita-cita mengikrarkan bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Gelegar Sumpah Pemuda yang diikrarkan dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928, merupakan sumpah satya para pemuda dari berbagai wilayah, suku, dan agama dengan latar belakang kultur yang berbeda dan beragam untuk bersatu sebagai bangsa.

Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dengan cita-cita yang menggunung dan/atau dengan impian yang melangit, yang dilandasi semangat cinta Tanah Air, serta berbingkaikan bahasa Indonesia, para pemuda menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia. Kelak pada kemudian hari, ikrar janji dan sumpah setia itu tidak hanya dilihat dan dinilai sebagai awal pembentukan identitas bangsa, berpatrikan semangat yang bercita-cita tinggi, tetapi juga sebagai wujud kesadaran diri dari masyarakat terjajah untuk membangun bangsa dan negara sendiri yang mandiri dan berdaulat dengan warna kemajemukan. Dan momentum historis yang tercatat dengan tinta emas itulah yang menjadi inspirasi terbangun dan terbentuknya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat dalam wujud Proklamasi yang dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agustus 1945.
Artinya, meskipun sebelumnya sudah ada gerakan Budi Utomo (1908) yang juga monumental, Sumpah Pemuda adalah inspirasi penting lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dan sekaligus sebagai wadah pembentukan karakter bangsa Indonesia secara bersama-sama nan kokoh kuat yang dilandasi perasaan senasib. Itu bisa dikerling dari pengertian bangsa menurut Otto Bauer, yaitu satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Atau, dengan Ernest Renan yang secara lebih simpel mengatakan, ‘kehendak untuk bersatu’ demi menggapai cita-cita bersama seperti yang dilukiskan Benedict Anderson, sebagai komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) sekaligus dengan penegasannya bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah kaum muda.
Kiprah pemuda masa kini
Dengan bertolak dari momentum historis Sumpah Pemuda sebagai inspirasi kehidupan kaum muda dan segenap bangsa saat ini, perlu dicatat bahwa peringatan Sumpah Pemuda setiap tahun hakikatnya bukan sekadar romantisme sejarah. Dengan memperingati Sumpah Pemuda, kita menghidupi kembali semangat dan kesadaran akan kebersatuan sebagai bangsa yang merupakan himpunan suku bangsa yang majemuk dengan perbedaan kultur, suku, dan agama. Dalam hal mana, semangat dan kesadaran akan kemajemukan, tapi bersatu dalam kebersatuan yang eksistensial bangsa Indonesia. Identitas keindonesiaan tidak pernah bisa dilepaskan dari keberagaman sebagai titik berangkatnya. Di sini, Sumpah Pemuda sebagai titik tolak dari pembentukan identitas kebangsaan Indonesia yang memiliki kemandirian yang merdeka dan berdaulat serta kebersamaan dalam kesatuan.
Namun, persoalannya bagaimana dengan kiprah pemuda masa kini? Jika kita ingin menyoroti kiprah pemuda masa kini, hendaknya lebih dulu berkaca pada pemuda di era sebelumnya, termasuk pemuda di era 1928, yaitu yang bertalian dengan pergerakan pemuda 1908, 1945, dan 1966 yang memiliki simpul-simpul dasar yang dapat dirunut untuk menakar heroisme pemuda masa kini, yang tentu saja tidak harus selalu berpusar dalam sumbu politik dan kebudayaan.
Bahwasanya, setiap generasi memiliki karakter tersendiri, seperti pijar-pijar budaya pemuda dan keberbangsaan pada era Budi Utomo 1908 berbeda dengan kiprah pencetus Sumpah Pemuda. Idealisme 1928 membuncah dalam momentum Proklamasi 1945. Kemudian, bangkit kekuatan koreksi revolusioner 1966. Dan jika dicatat bahwa dari era kebangkitan nasional, Budi Utomo 1908 menuju Sumpah Pemuda 1928, diperlukan waktu 20 tahun guna membangun kebudayaan pemuda baru. Kemudian dibutuhkan waktu 17 tahun bagi kelahiran pemuda proklamator 1945. Selanjutnya, 21 tahun kemudian terlahirlah generasi KAMI dan KAPPI yang ikut andil mendirikan rezim Orde Baru 1966.
Tanpa menguraikan secara detail persoalan yang bertalian dengan kiprah pemuda dari masa ke masa itu, yang perlu dikatakan adalah bahwa kiprah pemuda kini berbeda jauh dengan kiprah pemuda pada era sebelumnya yang memiliki kultur politik tertentu. Pemuda kini hidup dalam dunia yang serbapragmatis sebagai imbas dari guliran budaya global yang merasuk budaya Indonesia lewat perkembangan teknologi dan informasi dengan gaya instannya yang sangat memekat. Akibatnya, pemuda kini tidak lagi mempersoalkan ideologi dalam tataran makna, tetapi pada tataran perbuatan. Itulah yang membuat pemuda kini lebih berkonsentrasi mengejar prestasi di bidang ekonomi, dan perebutan prestise di berbagai tataran sosial, ekonomi, dan politik.
Dari situlah tersembul di kalangan pemuda, semangat dan keinginan untuk tampil pada garda paling depan dalam memprotes segala kepincangan sosial, ekonomi politik, dan hukum. Dan puncak dari perjuangan pemuda dalam bingkai ini adalah lahirlah aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa dalam menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru dengan mengusung gerbong reformasi dengan berbingkaikan demokrasi. Sebuah karya pemuda yang tidak kalah monumentalnya jika dibandingkan dengan karya pemuda di era 1928.
Perspektif baru
Akhirnya, dapat dicatat bahwa kultur pemuda dari masa ke masa, hampir selalu berputar pada sumbu kebudayaan, terutama politik. Kebudayaan dan politik suatu bangsa terutama dinamika budaya pemudanya adalah hasil karya yang merupakan kristalisasi jawaban atas pertanyaan dan tantangan zaman yang berbeda dari waktu ke waktu. Itulah yang ikut membentuk kondisi sosiologis dan politik pemuda dengan segala potensi yang dimiliki sebagai garda depan dalam dimensi perubahan sosial dan politik tersebut.
Karena itu, yang diharapkan dari pemuda saat ini adalah selalu menjadikan gerakan pemuda pada era sebelumnya sebagai inspirasi perjuangannya. Implementasi inspirasi itu, yakni dengan selalu berperan aktif dalam setiap perubahan sosial, ekonomi, dan politik nasional dan global demi mengantarkan bangsa pada pencerahan kehidupan bangsa dalam menyongsong zaman yang terus maju ini agar lebih beradab. Di sinilah diperlukan semangat dan kerja keras para pemuda untuk merebut peluang-peluang sosial, ekonomi, dan politik dalam ranah global demi membawa bangsa ini mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Adalah para pemuda dengan penuh semangat, terlibat dalam pemecahan masalah-masalah aktual bangsa seperti selalu terganggunya kemajemukan bangsa yang membuncah dalam friksi dan konflik yang berlatar suku, agama, ras dan antargolongan, serta masalah-masalah internasional yang mengglobal.
Artinya, pemuda-pemuda kini harus lahir dengan semangat baru yang inspiratif sehingga dapat mencetuskan semacam ‘sumpah pemuda baru’, dengan format, dimensi dan/atau perspektif baru yang berlandaskan pada seruan moral dan politik baru sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan peradaban.
Itulah yang sangat diperlukan saat ini karena musuh bersama yang dihadapi pemuda di era 1908, 1928 dan 1945, seperti penjajahan yang menjadi pemicu pergerakan mereka telah ditelan sejarah dan kini telah lahir bentuk-bentuk penjajah berwajah baru yang lebih halus, tetapi sebenarnya tak kalah menyakitkan, seperti penguasaan lahan-lahan ekonomi di negeri ini oleh negara-negara kaya nan kapitalis, dan anak-anak bangsa ini hanya menjadi kaum buruh di negeri mereka sendiri.
Oleh Thomas Koten
Direktur Social Development Center

Selasa, 26 Oktober 2010

EKONOMI KERAKYATAN ITU SANGAT SIMPEL

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Cornelis Lay, Guru besar Universitas Gadjah Mada mengingatkan kita tentang bahaya neoliberalisme.  Sebuah ideologi yang mengedepankan ekonomi pasar yang cenderung tidak berpihak pada rakyat. Sebaliknya, ia berbicara tentang ekonomi kerakyatan sebagai solusi permasalahan bangsa.
Lalu bagaimana Cornelis Lay berbicara mengenai teori  ini. Inilah petikan wawancara Rakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay di Leiden, Negeri Belanda.

Bisa anda ungkapkan tentang hakekat ekonomi kerakyatan?
Menurut saya, ekonomi  kerakyatan itu sangat simpel,  tidak  terlalu  rumit. Karena memang  sudah dikonstruksikan di dalam Konstitusi (1945) yang lama. Pertama, seluruh kekayaan alam, bumi, dan semua yang  terkandung di dalamnya itu harus berada di tangan negara. Dan semua itu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manifestasinya itu di dalam bentuk  hadirnya perusahaan-perusahaan  publik, yang mengontrol  sumberdaya-sumberdaya  strategis.
Kita memang trauma dengan permasalahan korupsi di perusahaan-perusahaan negara (BUMN – Badan Usaha  Milik Negara)  itu. Namun, menurut saya, korupsi itu yang harus dihilangkan, bukan BUMN nya yang  harus  dihilangkan. Itu lah problema Indonesia. Karena  efesiensi, efektivitas dan  tidak  korup  itu sebenarnya  soal manejemen, bukan  soal kepemilikan.
Dengan  cara  seperti  itu  fungsi-fungsi  sosial dari berbagai  institusi  itu berjalan dengan baik.  Tapi sekaligus Konstitusi  kita yang lama mengatakan, bahwa usaha-usaha ekonomi itu disusun dengan keseimbangan, antara usaha-usaha yang sifatnya berbasis  kolegialitas  masyarakat, yang kita sebut koperasi, dengan usaha-usaha yang sifatnya  individual yang  kita  sebut perusahaan swasta dan  juga BUMN  itu. Jadi ada peran, di mana  negara  memegang peran yang  besar,  ada peran koperasi  dan peran perusahaan orang  perorang.  Problema kita saat sekarang ini adalah peran negara (BUMN) dan peran koperasi itu (telah) kita bunuh. Kita melepaskan semuanya  itu kepada privat,  kepada  individual.
Kedua, ekonomi  kerakyatan itu  juga berkaitan dengan tata cara kita mendistribusikanresource (sumber daya) nasional. Kalau kita menganggap, bahwa kekuatan ekonomi Indonesia itu terletak pada sektor pertanian, karena itu  adalah sektor yang paling banyak melibatkan tenaga produktif rakyat Indonesia dan di sanalah masa depan dari masyarakat justru ada. Maka distribusi sumber daya nasional kita harusnya menggambarkan keyakinan itu. Uang itu harusnya lebih banyak dikasihkan ke situ,  ke sektor pertanian.
Kenyataannya  sekarang  ini sebaliknya. Pertanian  kita  mengalami deagrarisasi , seluruh infrastrukturnya hancur  berantakan tidak  ada yang memperhatikan,  nggak ada  insentif  apapun membuat orang  masih senang  atau  berkeinginan  menjadi petani.  Sekarang ini sebagian besar petani  kita  usianya 50-an ke atas. Akhirnya sektor  pertanian ini mengalami kehancuran  secara  total. Dan justru yang  kita kembangkan adalah sektor-sektor yang  samasekali tidak  menghasilkan  apa-apa kecuali  janji, jasa -  pasar obligasi, pasar uang. Itu semua, orang berspekulasi di situ. Gambaran dari kerakyatan itu ada pada policy (kebijakan) yang memihak pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh rakyat, misalnya pertanian, perikanan, sektor-sektor  informal  itu adalah sektor atau aktivitas-aktivitas ekonomi pokok yang mestinya ditopang  secara  habis-habisan oleh keuangan negara. Dan itu yang tidak terjadi.
Kita lebih  suka  membantu bank yang  bangkrut  sampai  triliunan rupiah, ketimbang, misalnya  saja, membantu  petani  yang  kena pajak. Itu penggambaran pada level policy (kebijakan). Tetapi ekonomi kerakyatan juga sekaligus menggambarkan bukan saja pola kita mendistribusikan sumber nasional , tetapi pola kita mengkonsumsi.  Kalau kita percaya, bahwa tumpuan ekonomi kita itu ada di dalam, yang paling gampang sajalah,  yakni pertanian tadi. Nah, kan mestinya, tata cara kita merancang pola konsumsi  kita juga sama. Lha kita yang kita dorong adalah mie yang gandumnya didatangkan dari Amerika. Itu sudah aneh. Jadi pola konsumsi nasional  juga harus dipakai untuk mendorong  pertanian kita.
Kita lihat orang Jepang saja gampang, ke mana dia pergi keluar negeri yang tidak membeli produk buatan Jepang, restoran Jepang, kamera Jepang, semuanya serba Jepang. Kita pergi ke Korea Selatan, 99 persen kendaraannya pasti produk Korea Selatan. Demikian juga ke China, penduduknya membeli  produksi dalam negerinya sendiri.
Nah, kita ini terbalik. Jadi kira-kira itu penggambaran-penggambaran. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, harus ada sistem pengorganisasian produksi ekonomi yang jelas, dengan memberikan kepercayaan pada negara untuk terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Tetapi juga ada kesempatan diberikan kepada kolektivitas masyarakat dalam bentuk koperasi  dan sebagainya. Disamping  sudah tentu, hak  secara  individual juga diberikan, distribusi  keuangan negara,  prioritas konsumsi kita, skala prioritas pembangunan kita itu  mestinya  jalan  semua. [arp]

Senin, 25 Oktober 2010

2011, INDONESIA TERANCAM KRISIS PANGAN

Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat untuk mengatasi ancaman krisis pangan yang akan melanda dunia tahun depan.
Krisis pangan tersebut disebabkan oleh melambungnya harga bahan pangan, terjadinya kegagalan pangan di berbagai negara dan akibat cuaca ekstrim.
Demikian pernyataan dari Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Arif Satria, usai deklarasi wadah sarjana pertanian di Jakarta, Sabtu (23/10/2010).
Secara global kenaikan harga pangan dunia mencapai 35 persen. Meroketnya harga makanan dunia ini, menurut Arif Satria yang juga Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, disebabkan karena melambungnya harga benih jagung yang mencapai 36 persen, harga benih gandum yang mencapai 72 persen. Sedangkan pupuk melonjak hingga 59 persen dan harga pakan 62 persen.
Krisis pangan juga disebabkan karena cuaca ekstrim 2010. Menurut Arif, PISPI mengidentifikasi 2010 terdapat cuaca ekstrim di belahan dunia yang bisa berujung kelangkaan pangan, antara lain gelombang panas dan kebakaran hutan di Rusia (Juni 2010), banjir akibat hujan lebat di Pakistan, longsor akibat hujan lebat di China (7 Agustus 2010), pecahnya es di Greenland (5 Agustus 2010), kekeringan dan kebakaran di Australia, suhu panas di Amerika.
”Bahkan sampai pertengahan tahun depan intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim akan lebih sering terjadi. Perubahan iklim global diproyeksikan akan berdampak pada produksi pangan. Saat ini negara-negara produsen cenderung mengamankan produksinya untuk kebutuhan dalam negeri,” ujar Arif.
Untuk itu, PISPI mengharapkan pemerintah membuat terobosan dan langkah kongkrit untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Insentif dari pemerintah kepada petani wajib diberikan dalam bentuk bantuan benih, pestisida, pupuk dan jaminan harga yang layak bagi petani produsen. Pemerintah, menurut PISPI, juga menerapkan cadangan pangan baik di pusat maupun daerah. ”Wujudnya pembelian pangan dari petani dengan harga memadai,” imbuhnya.
Untuk mengatasi perubahan iklim, PISPI mengusulkan agar pemerintah memberikan petunjuk yang jelas apa yang harus dilakukan oleh petani produsen dalam menghadapi ketidakpastian musim.
”Jangan biarkan petani bergerak sendiri tanpa bimbingan pemerintah,” tegas Arif.
Lemahnya keberpihakan pemerintah pada pertanian, dituding sebagai penyebabnya. ”Lihat saja masih diandalkanya produk impor komoditi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Padahal kalau mau kita memiliki berbagai kemampuan untuk mengatasi hal tersebut,” ujar Arif. Impor pangan per tahun menghabiskan devisa negara tak kurang Rp50 triliun.(okz)(koranbanten.com)

Sabtu, 23 Oktober 2010

CORNELIS LAY: INDONESIA SUDAH BETUL-BETUL DITEKUK OLEH IDE NEOLIBERAL

Cornelis Lay: Indonesia Sudah Betul-betul Ditekuk oleh Ide Neoliberal
Kamis, 21 Oktober 2010 , 14:17:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Pada akhir bulan September yang lalu, Drs Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol  UGM (Universitas Gajah Mada) berkesempatan bincang-bincang  dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.
Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berbicara panjang lebar mengenai gagasan neoliberal, tentang ide ekonomi kerakyatan.
Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal  sangat berkembang sekarang ini di Indonesia. Itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.
Sedangkan gagasan ekonomi kerakyatan, menurut Cornelis Lay, diilhami atau didorong oleh keresahan masyarakat terhadap dominasi ide pasar atau ide neoliberal yang sudah praktis menguasai seluruh kehidupan kita. Dan gagasan yang namanya ekonomi kerakyatan ini sebenarnya diturunkan dari gagasan-gagasan yang sudah lama dipikirkan dan sudah lama ditulis oleh Bung Karno.
Berikut ini petikan perbincangannya.
Sulit dibantah bahwa gagasan neoliberal  memang sudah benar-benar mencengkram  Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?
Itu kan merupakan kesimpulan yang praktis sudah disepakati oleh banyak orang. Pertama-tama, karena  orang melihat pada produk-produk policy atau kebijakan,  yang dihasilkan oleh baik parlemen maupun pemerintahan atau kabinet setelah Pemilu 1999 itu, memang lebih mempercayai pasar sebagai kekuatan untuk men-drive ekonomi, pasar sebagai kekuatan untuk mendistribusi sumberdaya-sumberdaya publik. Sementara pemerintah itu hanya melibatkan diri sebagai fasilitator yang cenderung pasif.
Dan fungsi negara sebagai fasilitator, fungsi negara sebagai institusi yang harusnya melindungi, memberdayakan dan sekaligus membela kepentingan-kepentingan sebagian besar kelompok masyarakatnya yang tertindas secara ekonomi itu memudar secara sangat luar biasa. Ide bahwa pasar itu adalah kekuatan utama sebagai alokator sumber daya yang paling baik dan paling adil itu adalah inti dari gagasan neoliberal.
Gagasan yang mengandaikan atau mengasumsikan institusi di luar pasar itu harus mundur, perannya harus terbatas. Dan itu digambarkan oleh permintaan untuk negara itu mundur dari banyak sektor, termasuk di dalamnya adalah negara tidak boleh mensubsidi, peran-perannya dibatasi. Nah ini yang menyebabkan orang berkesimpulan seperti itu.
Tetapi ini bukan sesuatu yang khas Indonesia dan kecenderungan neoliberal sebagai ideologi  yang menuntun kebijakan-kebijakan itu berlangsung praktis di seluruh dunia. Sangat sedikit kita bisa melihat negara yang masih mampu bertahan dengan memberikan peran jauh lebih besar atau paling tidak sebanding antara negara dan pasar.
Apa hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh kekuatan neoliberal?
Ya, negatifnya sudah dibuktikan oleh pengalaman sejarah panjang, bahkan negara-negara Barat yang sekarang ini banyak juga mempromosikan gagasan neoliberal. Bahwa bekerjanya pasar itu pasti akan memarjinalkan sebagian terbesar dari masyarakatnya, melahirkan akumulasi ekonomi, kapital di tangan orang yang semakin terbatas, yang membuat memang kesenjangan antara orang-orang yang mampu dan orang-orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar itu semakin melebar. Dan ini kemudian itu yang paling ditakutkan banyak orang. Dan sebenarnya pengalaman-pengalaman dari negara-negara Eropa itu sudah menunjukkan kenapa mereka habis-habisan membangun sistem welfare state (negara kesejahteraan), justru karena itu merupakan koreksi terhadap kepercayaan yang berlebihan terhadap pasar yang melahirkan marjinalisasi sebagian besar kelompok masyarakat.
Di negara berkembang semacam Indonesia, dengan menjalankan neoliberal itu,  produk-produk yang mereka hasilkan itu sulit bersaing dengan komoditi sejenis yang diproduksi negeri lain. Bukankah demikian?
Hal itu jelas merupakan persoalan tersendiri. Liberalisasi atau penerapan policy (kebijakan) neoliberal  itu perkembangan sekarang ini termasuk di Indonesia itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar. Misalnya saja bidang pendidikan. Dulu pendidikan itu adalah sebuah sektor yang  dianggap strategis  dalam rangka pembangunan kharakter dan sekaligus juga membuat demokrasi dari bangsa. Karena itu dia (pendidikan) menjadi bidang yang tertutup. Sekarang ini pendidikan diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Dan sekarang ini, ya perguruan tinggi dari negara mana pun boleh membuka perguruan tinggi di Indonesia atas nama liberalisasi, atas nama neoliberal, atas nama keunggulan pasar. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan. Akibatnya kita akan menyaksikan dan ini yang paling ditakutkan banyak orang dan kenapa orang cemas terhadap gagasan neoliberal ini nanti seluruh kekuatan produksi domestik kita hancur.
Rumah sakit kita boleh jadi akan bangkrut dan kita cuma punya rumah sakit asing. Boleh jadi perguruan tinggi kita, sekolah-sekolah kita akan bangkrut, atau berada di pinggiran nggak ada lagi orang yang mau masuk. Dan karena itu seluruh pendidikan  kita, kita akan serahkan kepada asing, dan itu punya banyak implikasi. Implikasi di dalamnya adalah, antara lain, tempat bagi orang atau tempat bagi proses pendidikan warga bangsa, kharakter bangsa, kebudayaan  bangsa dan seterusnya  tidak relevan lagi. Karena bagi mereka kan bukan itu yang penting. Pendidikan itu kan perkembangan skill.
Contoh yang paling gamblang dalam hal ini?
Taruhlah kalau nanti  rumahsakit-rumahsakit negara itu sudah hilang, karena memang tidak efisien, karena memang pelayanannya lebih buruk. Dan seluruhnya itu menjadi rumahsakit swasta. Dan swastanya itu swasta luar negeri. Pertanyaannya, kalau ada si Poniman, Poniran, Pariyem yang tidak punya uang, siapa yang tanggungjawab?
Contohnya sekarang jelas, rumahsakit kita itu sudah proses yang kemaren ribut-ribut itu di rumahsakit internasional itu. Itu sangat jelas. Itu gambarannya. Contoh yang gamblang lainnya lagi, lihat saja di Jakarta. Semua perguruan dari negara-negara lain itu sudah buka cabang. Jadi sudah seperti  membuka franchise. Jadi membuka perguruan tinggi sudah sama seperti orang membuka Mc Donald. Ada cabang di Jalan Sudirman, nanti ada cabang di mana lagi. Ada cabang di mana-mana, itu sudah menjadi waralaba. Bukan lagi menjadi  konsep awal, bahwa itu konstitusi kita mengatakan bahwa kewajiban negara itu mencerdaskan kehidupan berbangsa itu sudah hilang. Karena tidak ada itu urusannya perguruan tinggi dari luar negeri bicara soal itu. (Bersambung) [arp]

KEMITRAAN UKM & INDUSTRI BESAR DIHARAP JADI SOLUSI

Written by Bisnis Indonesia-Rudi Ariffianto
Thursday, 21 October 2010 14:44

SOLO: Kemitraan pelaku industri kreatif skala usaha kecil dan menengah, khususnya industri mebel, dengan industri yang lebih besar diharapkan menjadi solusi masalah UMKM terkait akses modal, teknologi, keterampilan dan pemasaran.

Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Nedi Rafinaldi Halim mengatakan Indonesia kini memiliki sekitar 50,27 juta pelaku usaha mikro.

Umumnya, kata dia, usaha-usaha mikro tersebut hanya berpenghasilan di bawah Rp300 juta per tahun dengan aset Rp50 juta.

“Itu bagian terbanyak di Indonesia dengan serapan tenaga kerja 80% dari sektor UMKM,” katanya, hari ini.

Khusus untuk sektor industri kreatif, tuturnya, keterlibatan pelaku usaha kecil dan mikro masih lebih banyak dalam skala industri rumah tangga.

“Biasanya juga keterampilan dan akses dana masih lemah. Selain itu, mereka juga belum begitu kenal teknologi yang memadai,” katanya.

Menurut data Kementerian Perdagangan, produk domestik bruto industri kreatif sekiar 44,8% berasal dari sektor fashion, dan kerajinan termasuk mebel 27,2%. Artinya, kata dia, industri kreatif terutama mebel memiliki potensi besar untuk dibangun.

Pembangunan industri tersebut, jelasnya, bisa dilakukan dengan cara kemitraan antara usaha besar dan UMKM. “Ini sejalan dengan UU No.20/2008, di mana dibutuhkan kemitraan di antara pelaku usaha,” ujarnya

Inilah Cara Mengantisipasi Kedigdayaan Ekonomi Neoliberal

Kamis, 21 Oktober 2010 , 17:54:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) sempat berbincang denganRakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia itu, bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Lalu bagaimana untuk mencegah penjajahan neoliberalisme, berikut lanjutan petikan wawancaraRakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay.

Bagaimana menurut Anda mengantisipasi kedigdayaan ekonomi neoliberal?

Ya, mestinya fungsi-fungsi negara itu diletakkan secara wajar. Artinya ada fungsi di mana negara itu memang harus berperan sebagai regulator. Dia mengatur saja, dia tidak perlu terlibat di dalam proses , tidak perlu mengintervensi dalam produksi, tidak perlu mengintervensi dalam distribusi. Tetapi dia mengatur agar supaya proses itu berjalan dengan baik, adil untuk semua orang.

Nah, mungkin pasar bekerja di situ. Tetapi ada saatnya negara itu berfungsi cukup sebagai fasilitator. Di mana dia hanya akan membantu mereka-mereka yang tidak punya kapasitas untuk berkompetisi. Tetapi ada saatnya memang negara itu harus berfungsi sebagai produsen dan distributor. Terutama untuk produk-produk yang memang tidak mungkin dibiarkan ke publik. Ini contoh saja pendidikan, kesehatan. Itu harusnya tanggungjawab pokok negara untuk membuat rakyatnya sehat, membuat rakyatnya cerdas.

Nah itu tidak bisa negara kemudian sudahlah, negara hanya sekedar ngatur, bikin peraturan pemerintah atau undang-undang , agar supaya perguruan tinggi ini tidak saling membunuh dengan perguruan tinggi yang lain dan seterusnya. Karena idenya itu bukan sekedar mengajarkan satu tambah satu berapa, satu kali satu itu berapa. Tetapi idenya itu adalah, bahwa pendidikan itu sekaligus medan untuk membentuk keindonesiaan, medan untuk membentuk kharakter bangsa, medan untuk membangun kebudayaan bangsa.

Mengapa itu menjadi penting?

Karena semua bangsa yang besar itu pasti punya kekuatan dalam pendidikan, yaitu medan untuk membentuk kharakter bangsa, medan untuk membangun kebudayaan itu tadi. Jepang tidak mungkin tumbuh menjadi negara besar tanpa karakteristik yang sangat keras dari Jepang yang diturunkan dari generasik ke generasi dalam proses pendidikan. Di Amerika Serikat, memang karena nilai yang diajarkan dari dulu memang nilai individualitas dan kapasitas kompetisi itu tradisi yang dikembangkan seperti di Eropa.

Kalau di Indonesia mana yang mau diturunkan? Tidak ada. Karena isu-isu pendidikannya hanya itu. Atau hal-hal yang memang amat strategis yang tidak bisa dialihkan. Amerika Serikat sangat liberal. Tetapi ketika ada perusahan dari Negara Arab mau membeli port (dermaga)nya, yang ditinjau dari sudut keuangan, efesiensi macam-macam tidak menguntungkan, itu ditutup habis oleh Kongres AS tidak boleh dijual. Tidak boleh yang namanya portnya Amerika Serikat itu djual, diswastakan apalagi dijual kepada pihak asing dari Negara Arab itu.

Nah, AS-negara yang kita anggap setia kepada prinsip-prinsip neoliberal atau liberalisme secara keseluruhan saja masih merasa perlu melindungi rakyatnya, kepentingan nasionalnya. Masa Indonesia boleh atau kok begitu mudahnya memberika ruang bagi pasar itu masuk ke mana-mana saja. Ini contoh yang paling konkret.

Sampai hari ini, petani di Eropa, di AS, tetap dilindungi oleh pemerintahnya dengan diberi subsidi yang sangat luar biasa besarnya. Di Indonesia, kita merasa bahwa, kalau kita melindungi petani kita adalah kejahatan. Ini agak aneh, karena kita dianggap melakukan kejahatan terhadap pasar. Padahal dengan tidak melindungi petani kita, justru kita melakukan kejahatan terhadap rakyat kita.

Permasalahan yang mungkin memprihatinkan adalah soal penanaman modal asing. Seperti diketahui Undang-undang Penanaman Modal Asing diganti dengan Undang-undang Penanaman Modal. Bagaimana penilaian Anda?

Justru itu, salah satu indikasi paling kuat kenapa orang mengatakan kita (Indonesia) itu sudah betul-betul ditekuk oleh ide neoliberal. Ya ditetapkannya UU Penanaman Modal itu. Undang-undang tentang kepabeanan, UU tentang pelabuhan dan undang-undang tentang apalagi itu semuanya pokoknya tidak ada lagi pembeda antara dalam negeri dan luar negeri. Para pemilik perusahaan-perusahan dari luar negeri dan dalam negeri silakan berkelahi, silakan bunuh-bunuhan, silakan cekik-cekikan, yang penting adalah anda jalan. Dan hasilnya kita bisa bayangkan, tidak mungkin perusahaan-perusahaan nasional kita itu bisa mampu bersaing dan bertahan. Bukan karena mereka tidak cukup cakap, tetapi secara kultural mereka sudah terlampau lama hidup dalam proteksi negara, terlampau lama dipaksa untuk menjadi outlooking hanya berkompetisi kedalam. Karena ketika itu dilepas, ya bubar semua. (Bersambung) [arp]

Rakyat Dipaksa Senang dengan Neolib

Jum’at, 22 Oktober 2010 , 22:30:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) sempat berbincang denganRakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia itu, bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang digawangi SBY-Boediono juga dinilai lebih merepresentasikan semangat neolib dibanding kepentingan nasional. Lalu apa kata Cornelis Lay tentang hal itu. Berikut ini adalah kutipan pembicaraannya.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dibawah Presiden SBY boleh dibilang tidak berhasil membuat kehidupan rakyat menjadi sejahtera. Meskipun begitu dalam Pemilu bulan Juli 2009 Susilo Bambang Yudhoyono, yang memilih Boediono sebagai pasangan Cawapresnya, telah berhasil memenangkan Pemilu hanya dalam satu putaran saja. Bagaimana pendapat Anda?

Karena memang masyarakat kita tidak melihat sampai sejauh itu. Resiko-resiko dari pekerjaannya ide neoliberal dalam keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, berekonomi kita, bersosial kita, berkebudayaan kita – itu kan tidak bisa ditangkap oleh semua rakyat sebagai pemilih.

Yang bisa ini kan cuma beberapa orang. Orang yang mempelajari betul akibat-akibat, yang sifatnya permanen, sifat merusak, jangka panjang sifat negatif dan seterusnya, bertugas untuk memberi tahukan hal-hal negatif tersebut.

Nah, rakyat kebanyakan kan yang dipikirkan adalah ya udahlah, kalau partai ini bisa menyediakan beras atau uang sekian ribu Rupiah untuk selama Pemilu itu, pasti itu bagus. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, bahwa rakyat pemilih tidak memilih berdasarkan kebijkan yang ditawarkan. Mereka memilih berdasarkan apa yang bisa ditawarkan kepada mereka sebagai orang perorang, individu.

Dengan kembali SBY terpilih sebagai Presiden, apakah itu bukan bukti bahwa rakyat atau para pemilih senang dengan neolib?

Menurut saya bukan karena rakyat Indonesia senang dengan neolib, mereka sebenarnya tidak tahu, bagaimana neolib itu bekerja, apa akibatnya. Mereka cuma melihat, SBY populer, ya sudah selesai urusannya. Ya, itu memang masalah kita sebagai bangsa yang masih sebatas itu. Rakyat Indonesia rata-rata cuma lebih memperhatikan popularitas, lebih memperhatikan apa yang tampak orang ngomong, tapi sebenarnya dia tidak menyimak sebenarnya apa yang terjadi. [arp]

PEMPROV DKI JAKARTA GAGAL ATASI KEMISKINAN

Sabtu, 23 Oktober 2010 , 06:48:00 WIB
RMOL. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta jangan mengeyampingkan permasalahan kemiskinan di ibukota. Banyaknya anak putus sekolah dan biaya kesehatan yang terlampau tinggi, makin memberatkan beban warga tidak mampu.
Hal ini dinyatakan anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Wanda Hamidah. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran anggaran yang ditetapkan Pem prov DKI selama ini tidak tepat sasaran dan cenderung tidak efisien dan  efektif. Banyak anggaran yang tidak me­nyentuh lang sung ke ma sya rakat.
“Di bidang pendidikan, yang penting adalah akses masyara kat DKI di bidang pendidikan ter buka lebar. Jangan ada lagi anak putus sekolah,” kata Wan da k e­pada Rakyat Merdeka.
Kenyataannya, sambung Wanda, angka anak putus sekolah dan anak yang tidak bisa me lanjutkan sekolah seperti dari SD ke SMP, SMP ke SMA atau dari SMA ke universitas masih tinggi. Di Jakarta Utara saja, yang tidak bisa sekolah ataupun putus sekolah terdapat se kitar 23.000 anak karena faktor kemiskinan.
Padahal, lanjut Wanda, alokasi Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sudah cukup besar. Ke­mudian ditambah gaji guru dan tunjangan lainnya, bisa dikatakan cukup sejahtera. Makanya, Wanda mempertanyakan, kenapa yang terjadi di lapangan, tidak disertai peningkatan kualitas murid.
Ketua Fraksi Amanat Bangsa DPRD DKI Jakarta ini menga takan, kemiskinan yang terjadi di ibu­kota disebabkan kurangnya perhatian dari Pemprov DKI.
“Masalah kemiskinan bisa dibilang menjadi masalah ne gara yang semakin berkembang se tiap tahunnya. Tapi pemerintah sampai sekarang belum mampu mengatasi masalah tersebut. Karena hingga Okto ber 2010, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di DKI mencapai 323,170 jiwa (3,62 persen),” terangnya.
Mengomentari hal ini, ang gota Komisi E DPRD DKI Ja karta Ash raf Ali menyatakan, diperlukan langkah untuk me ngubah keten tuan kri teria bagi warga miskin. Khu susnya me re ka yang tinggal di Ja karta. Pa salnya sebagai kota metro po litan dan ibukota negara, sa ngat sulit mencari warga yang hidup sesuai kriteria tersebut.
“Ketentuan miskin harus di sesuaikan dengan kondisi ekonomi minimal suatu daerah. Pemprov DKI Jakarta harus mengkaji kembali kriteria ini,” ucap Ash raf.
Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat yang juga menjabat Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penang gulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto menyatakan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) belum bisa menyentuh warga miskin yang paling kecil. Namun baru sampai pada usaha menengah melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan pinjaman dana melalui perbankan.
Menurutnya, Pemprov DKI justru telah mempunyai prog ram pengentasan kemiskinan yang menyentuh warga miskin yang benar-benar miskin. “Karena itu, kami ingin belajar dari Pemprov DKI sehingga bisa menerapkan nya di daerah-daerah lain,” ucap Bambang saat ditemui di Balai kota, Jakarta.
Dengan sinergi antara PN PM-MP dan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kelurahan (PEMK), di harapkan membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia agar mencapai 5-6 per sen. Apalagi kota Jakarta yang pertumbuhan ekonominya sudah melebihi rata-rata nasional. Serta menurunkan jumlah warga miskin yang saat ini mencapai 13,14 persen atau 31,4 juta dari total po pulasi pen duduk Indonesia.
TNP2K mengharapkan dapat bersinergi dengan Pemprov DKI. Agar PNPM-MP bisa bersinergi dengan program pemberdayaan masyarakat, membutuhkan Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) dari pemerintah daerah.
“Jadi mohon dukungannya agar PNPM-MP bisa disinergikan dengan PEMK di Jakarta,” harap Bambang. [RM]

Kamis, 21 Oktober 2010

EDAN, 60 UU INDONESIA DIPENGARUHI PERUSAHAAN DAN LSM ASING

Edan, 60 UU Indonesia Dipengaruhi Perusahaan dan LSM Asing
Rabu, 20 Oktober 2010 , 06:14:00 WIB, Laporan: Ade Mulyana
RMOL. Setidaknya ada 60 produk perundangan Indonesia yang dipengaruhi kepentingan perusahaan asing dan sangat merugikan kepentingan nasional.
Begitu disampaikan anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudhohusodo kepadaRakyat Merdeka Online di Gedung DPR Senayan, kemarin siang (Selasa, 19/10).
Dia mencontohkan, UU sumber daya air dan sejumlah perundangan yang mengatur praktik perbankan.
Karenanya, dia meminta agar pemerintah mewaspadai segala kepentingan tertentu yang ditargetkan oleh lembaga asing, baik perusahaan maupun LSM asing seperti Greenpeace.
Dia juga mengatakan, data yang disampaikan Greenpeace mengenai kerusakan hutan Indonesia, misalnya, harus diwaspadai karena bisa jadi merupakan bagian dari skenario asing menyudutkan perekonomian nasional Indonesia.
“Data tersebut jelas-jelas berorientasi kepada kepentingan perusahaan luar negeri. Pemerintah jangan mudah percaya info-info itu,” katanya.
Dia juga mengatakan, bukan baru kali ini LSM asing itu memiliki agenda terselubung. Dari pengalaman yang lalu, demikian Siswono, LSM asing bahkan sudah berhasil mempengaruhi sampai tingkat perundang-undangan tadi. [guh]

Jumat, 15 Oktober 2010

8,6 JUTA LULUSAN JADI PENGANGGURAN TERBUKA

8,6 JUTA LULUSAN JADI PENGANGGURAN TERBUKA

Jumat, 15/10/2010 15:57:15 WIB
Oleh: Hilda Sabri Sulistyo
JAKARTA: Sedikitnya 8,6 juta lulusan pendidikan di Indonesia dari 116,8 juta angkatan kerja belum terserap dunia kerja dan menjadi angkatan pengangguran terbuka.
Kementerian Pendidikan Nasional menilai perlu link and match atau penyelarasan antara kebutuhan dunia kerja dengan kompetensi yang dimiliki oleh para lulusan pendidikan di Indonesia.
“Masalahnya, itu karena rendahnya kompentensi kualifikasi lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha,” kata Direktur Kursus Ditjen Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Wartanto, hari ini.
Menurut dia, angka pengangguran yang tinggi juga disebabkan antara lain oleh tingkat produktifitas kerja yang rendah, kesenjangan upah antar pekerja relatif besar, kenaikan upah belum diikuti dengan peningkatan produktifitas, serta kesenjangan partisipasi kerja antara wanita dan pria yang cukup tinggi.
“Kajian mengenai konsep penyelarasan yang selama ini dilakukan oleh Kemendiknas baru menjawab permasalahan secara parsial. Dari konsep tersebut diisyaratkan adanya kebutuhan kordinasi yang baik antara pihak penyedia lulusan pendidikan (supply driven) dengan pihak yang membutuhkan tenaga lulusan (demand driven).”
Untuk itu, lanjut dia, diperlukan reingeneering sistem pendidikan pada setiap level dan bidang dalam menyediakan lulusan atau SDM sesuai kebutuhan dunia kerja.
Tak hanya itu, tambah Wartanto, dibutuhkan peramalan kebutuhan akan sektor-sektor kerja
agar kualifikasi para lulusan bisa tepat sasaran dengan kebutuhan pasar.
“Kebanyakan yang terjadi saat ini adalah lulusan misalkan lulusan SMK tata boga bekerja di lahan pekerjaan tekstil,” ungkapnya.
Solusi dari permasalahan tersebut adalah perlunya kordinasi antara Kemendiknas dan kementerian lain yang memiliki fungsi pendidikan dengan dunia kerja. Tak hanya itu, tegas dia, perlu juga dilakukan penyelarasan kurikulum berbasis kewirausahaan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. (arh)

Selasa, 28 September 2010

CIPUTRA: INDONESIA BELUM SEJAHTERA

Written by Aloysius Budi Kurniawan

Tuesday, 28 September 2010 11:09

SURABAYA, KOMPAS.COM – BEGAWAN PROPERTI INDONESIA DR IR CIPUTRA MERAYAKAN ULANG TAHUNNYA YANG KE-79, JUMAT (24/9/2010) DI UNIVERSITAS CIPUTRA, SURABAYA. DI USIANYA YANG HAMPIR MENCAPAI DELAPAN DEKADE INI, CIPUTRA MERASA GELISAH DENGAN TINGGINYA TINGKAT PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA. MENURUTNYA, JIKA SITUASI INI TAK SEGERA DITANGANI, MAKA DALAM 25 TAHUN KE DEPAN, KONDISI MASYARAKAT INDONESIA TIDAK AKAN BERUBAH.

“Indonesia sudah merdeka selama 65 tahun, tapi kondisi masyarakat kita belum sejahtera. Tingkat pengangguran mencapai sembilan persen dan tingkat kemiskinan mencapai 13 persen. Bahkan, saat pendataan pemberian jaminan kesehatan masyarakat, tercatat sekitar 27 persen penduduk kita masih miskin,” kata Ciputra di sela perayaan ulang tahunnya ke-79.

Tak hanya itu, Ciputra juga gelisah dengan banyaknya sarjana pengangguran yang mencapai kisaran 20 persen. “Tanpa adanya gebrakan kebijakan dari pemerintah, maka kondisi Indonesia dalam 25 tahun ke depan tak akan banyak berubah,” katanya.

“Sekitar 50 tahun lalu, pendapatan per kapita Indonesia dengan Malaysia sama. Tapi, saat ini situasinya jauh berbeda. Indonesia jauh tertinggal karena pendapatan per kapita Malaysia melonjak sekitar 2,5 kali lipat dari per kapita Indonesia,” ucapnya.

Pro-kemakmuran

Menurut Ciputra, tiga tekad pemerintah saat ini, yaitu pro-job (peningkatan pekerjaan), pro-poor (keberpihakan pada kaum miskin), dan pro-growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi) belumlah cukup. Satu hal yang perlu ditambah adalah pewujudan kemakmuran bagi seluruh rakyat (pro-prosperity).

“Ada satu cara agar masyarakat sejahtera dan makmur, yaitu melalui penciptaan lapangan pekerjaan dan usaha. Ini semua hanya bisa diatasi dengan wirausaha,” kata Ciputra.

Dengan pengalamannya membidani Ciputra Group selama 29 tahun serta kiprahnya pada dunia properti selama berpuluh-puluh tahun, Ciputra yakin dunia, khususnya Indonesia saat ini membutuhkan senjata pamungkas untuk memerangi pengangguran dan kemiskinan melalui kewirausahaan.

Dalam rangka menularkan jiwa kewirausahaan, Ciputra mendirikan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center. Ia juga memberikan pelatihan kewirausahaan pada sekitar 2.000 dosen dari seluruh Indonesia. Sebanyak 20 dosen juga diajak menjalani pelatihan kewirausahaan di luar negeri.

Besok, Sabtu (25 /9/2010), Universitas Ciputra Surabaya yang konsen pada pendidikan kewirausahaan akan meluluskan 145 mahasiswa. Dari total 145 lulusan itu, sebanyak 103 lulusan di antaranya langsung bekerja atau memulai bisnis pribadi. Hadir pula dalam wisuda perdana ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal.

“Dari 103 lulusan yang langsung bekerja itu, beberapa di antara mereka baru mulai kerja perdana, namun sebagian lain memang sudah merintis bisnis jauh-jauh hari,” kata Rektor Universitas Ciputra Surabaya, Tony Antonio.

PKL BUKAN LAGI PEDAGANG KAKI LIMA

PKL Bukan Lagi Pedagang Kaki Lima
Written by Martina Prianti/Kontan
Tuesday, 28 September 2010 10:09

JAKARTA, KOMPAS.COM — PEMERINTAH MENGKLAIM SAAT INI TENGAH MEMBENAHI KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL). CARANYA DENGAN MEMBERIKAN KARTU PENGENAL DAN MEMBUKA PELUANG KERJA SAMA DENGAN SWASTA.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengatakan, dalam rangka pembenahan itu, pemerintah juga mengganti nama pedagang kaki lima menjadi pedagang kreatif lapangan. Tujuannya, untuk memudahkan koordinasi antara pemerintah pusat, swasta, dan pemerintah daerah.

“Dalam nota kesepahaman tiga menteri (Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Urusan Koperasi dan UKM). Nanti PKL akan diberikan kartu anggota atau tanda pengenal dan ada lokasi sehingga memudahkan kementerian terkait mendata ketika memberikan bantuan,” ucap Mari di kantor Menko Perekonomian, Senin (27/9/2010).

Menurut Mari, dengan adanya penertiban pengelolaan PKL, wilayah perkotaan atau wilayah tempat berdagang PKL bisa semakin tertata dan bersih sehingga tidak merusak wajah kota. “Intinya adalah PKL di pinggir jalan diberdayakan, tetapi tidak digusur,” lanjutnya.

Terkait dengan hal itu, Mari melanjutkan, pemerintah mengimbau agar PKL tidak takut dengan program tersebut. Alasannya, dengan penertiban, cara berdagang bisa lebih rapi dan tertata serta memudahkan pemerintah memonitor perkembangan PKL.

Sementara itu, Ardiansyah Parman, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, mengatakan, penataan PKL akan memberikan keuntungan bagi PKL itu sendiri dan pihak swasta. “Perlu diingat, PKL itu termasuk sektor informal dan di Indonesia sektor tersebut sangat besar,” katanya.

Menurut Ardiansyah, pemerintah berharap pemerintah daerah juga tergugah memberikan fasilitas kepada PKL. Bisa saja dengan menyediakan ruang berdagang yang representatif. “Tadi sudah diimbau agar semua gubernur atau wali kota daerah bisa menyediakan fasilitas untuk itu,” katanya.

Sabtu, 25 September 2010

DIDIK J RACHBINI: BANK DUNIA KEMBALI BAWA INDONESIA KE JURANG KRISIS UTANG

Didik J Rachbini: Bank Dunia Kembali Bawa Indonesia ke Jurang Krisis Utang
Sabtu, 25 September 2010 , 17:17:00 WIB
Laporan: Ari Purwanto
RMOL. Strategi kebijakan ekonomi dan utang luar negeri yang bersifat parsial, sama sekali tidak memperhitungkan aspek pembangunan kelembagaan.
Bank dunia dinilai sebagai aktor penting dan utama dalam transaksi utang luar negeri Indonesia. Kebijakan liberalisasi keuangan dari Bank Dunia yang ekstrim dan sembrono turut menggiring ekonomi nasional masuk ke jurang krisis.
Hal ini diungkapkan oleh pengamat ekonomi politik terkemuka, Prof. Dr. Didik J Rachbini dalam Kuliah Umum bertema “Ekonomi Politik Baru dan Beban Utang Negara”, yang digelar oleh Sekolah Pascasarjana Magister Sains Manajemen Universitas Pascasarjana (Unas), Sabtu (25/9).
Dalam paparannya, Didik mengatakan, aspek mendasar yang menjadi akar masalah dalam kebijakan ekonomi dan utang luar negeri Indonesia yang saat ini sudah mencapai Rp 2.000 triliun adalah kelemahan kelembagaan penopang kebijakan dan watak perilaku aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
“Institusi birokrasi adalah bagian dari proses ekonomi politik yang berperan besar terhadap pembangunan ekonomi. Birokrasi sebagai cost maximizer menciptakan mark up, inefisiensi, pemborosan dan praktik korupsi yang masif. Penyakit-penyakit itu berjangkit bersama dengan perilaku sebagai empire builders, yang sekaligus merupakan bagian dari krisis ekonomi yang fatal,” ungkapnya. [arp]

Kamis, 23 September 2010

TERNYATA RAKYAT INDONESIA MASIH MISKIN

Written by KOMPAS
Thursday, 23 September 2010 13:39

JAKARTA, KOMPAS.COM — MESKI TARGET PENGURANGAN ANGKA KEMISKINAN EKSTREM DAN KELAPARAN SEBAGAI SALAH SATU SASARAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM TERCAPAI, PADA KENYATAANNYA RAKYAT INDONESIA MASIH MISKIN. PENDAPATAN 1 DOLLAR AS (KURANG DARI RP 9.000) PER HARI TIDAK CUKUP UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP SEHARI-HARI.

Utusan khusus Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), Nila Djuwita Moeloek, mengemukakan hal tersebut seusai acara Parliamentary Stand Up For MDGs di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Jumat (17/9/2010) pekan lalu.

Tanggal 20-22 September 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi untuk mengecek kemajuan MDGs. Sekitar 150 kepala negara akan hadir. Delegasi Indonesia dipimpin Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Semua negara harus melaporkan tingkat pencapaian sasaran-sasaran MDGs.

Nila selanjutnya mengatakan, untuk pengurangan angka kemiskinan, Indonesia masih tetap pada jalurnya. Namun, dengan ukuran kemiskinan, yakni pendapatan di bawah 1 dollar AS per hari per orang, tentu dipertanyakan kualitas hidup yang dijalani masyarakat dengan pendapatan tepat di ambang batas itu, ataupun sedikit di atasnya yang menurut ukuran itu tidak tergolong miskin.

Proyek global MDGs terdiri atas 8 sasaran yang mencakup pengurangan angka kemiskinan ekstrem dan kelaparan, peningkatan angka partisipasi pendidikan primer, peningkatan kesehatan ibu, pengurangan angka kematian anak, penyebaran HIV/AIDS, kesetaraan jender, kepastian lingkungan yang berkelanjutan, dan peningkatan kemitraan global.

Saat ini Indonesia memilih menetapkan ambang batas kemiskinan pada pendapatan 1 dollar AS per hari per orang. Angka yang dicapai Indonesia menunjukkan perbaikan.

Tahun 1990, sekitar 20,6 persen penduduk pendapatannya di atas 1 dollar AS per hari. Tahun 2010, dari hasil sensus penduduk, menurut analis Kampanye dan Advokasi MDGs PBB di Indonesia, Wilson TP Siahaan, angka itu menjadi sekitar 13,33 persen jumlah penduduk, atau ada 31,02 juta penduduk miskin, dari data BPS per Maret 2010.

Menurut Nila, target-target yang dianggap telah on track sekalipun masih harus dilihat secara lebih detail. Di bidang pendidikan, misalnya, angka partisipasi murni (APM) untuk pendidikan dasar telah naik menjadi 95,14 persen pada tahun 2008 dibandingkan angka partisipasi murni tahun 1993 yang mencapai 91,23 persen.

Tak jauh beda dari pandangan Nila, Wilson melihat pencapaian MDGs Indonesia bagaikan potret bercampur. Di satu sisi, beberapa sasaran, seperti pengurangan kemiskinan, telahon track. Namun, kinerja dalam pengentasan rakyat dari kemiskinan tetap menjadi masalah. Selama periode 1990-2010, kemiskinan hanya turun 1 persen.

Berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 persen (27,2 juta orang miskin) dan pada tahun 2009 kemiskinan 14,15 persen (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 ada sekitar 31,7 juta orang miskin. ”Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 persen. Hanya saja, penurunan tidak cukup kencang dalam waktu 11 tahun,” ujarnya.

Masalah keadilan

MDGs yang dikemas dengan bungkus globalisasi, menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, sebagai proyek internasional dan komitmen bersama guna mengurangi kemiskinan, MDGs seakan terlepas dari masalah ketidakadilan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Palupi mengungkapkan, hal yang paling mendasar untuk melihat MDGs adalah dengan perspektif hak asasi manusia. Menurut dia, kapabilitas orang miskin harus ditingkatkan melalui pendidikan, peningkatan kesehatan, dan penyediaan kesempatan bekerja. Dengan demikian akan muncul kemandirian menghidupi diri sendiri dan keluarganya.

Ia mencontohkan, sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati 40 persen penduduk (golongan menengah) dan 20 persen (golongan terkaya). Sisanya yang 40 persen (penduduk termiskin) semakin tersingkir. Porsi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin menurun dari 20,92 persen pada tahun 2000 menjadi 19,2 persen tahun 2006.

Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah dan target MDGs yang bertentangan. Di satu sisi, sasaran MDGs ialah menjamin kelestarian lingkungan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Namun, pemerintah justru melakukan perusakan sistematis terhadap lingkungan.

Pemerataan

Persoalan MDGs tidak bisa dipandang sebatas angka secara nasional, tetapi harus dilihat bagaimana pemerataan pencapaiannya di seluruh bagian Indonesia. Hal itu dikemukakan Divisi Monitoring Kebijakan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.

Ade berpendapat, di Indonesia bagian timur yang lebih tertinggal dibandingkan dengan bagian Indonesia lain, masalahnya akan sangat kompleks ditambah dengan kondisi geografis yang menjadi tantangan tersendiri.

Perlu pemetaan daerah yang kaya dan minus sehingga kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sasaran. ”Selain itu, bias kebijakan juga harus dihindari. Permasalahan sebenarnya ada di daerah, tetapi penyelesaiannya menggunakan asumsi kota,” ujarnya. Menurut dia, penyelesaian masalah tidak bisa instan dan top down. ”Warga perlu terlibat dalam pembuatan kebijakan sehingga kebijakan dapat menjawab masalah-masalah mereka,” kata Ade.

Secara umum, menurut Wilson, Indonesia jelas lebih baik daripada negara-negara di Afrika dan India karena populasinya lebih sedikit. Di samping itu, Indonesia mempunyai potensi besar dalam hal pendanaan, institusi, dan sumber daya manusia. Persoalannya ialah memastikan di tingkat bawah akan efektivitas program dan kekonkretannya. Menurut Wilson, MDGs adalah alat untuk melihat akuntabilitas pemimpin kepada masyarakat dalam perbaikan kesejahteraan.

Sementara Nila menegaskan, arah pemerintah selama ini sudah benar karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki semangat pro-poor, pro-growth, dan pro-job.Rencana pemerintah untuk mencapai semua sasaran MDGs tergambar pula dalam rencana pembangunan berjangka yang telah disusun.

SETENGAH ABAD PENGINGKARAN UUPA 1960, SETENGAH ABAD PENINDASAN TERHADAP PETANI

Setengah Abad Pengingkaran UUPA 1960, Setengah Abad Penindasan terhadap Petani
Kamis, 23 September 2010 , 00:08:00 WIB

Laporan: Ari Purwanto

RMOL. Lima puluh tahun yang lalu, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA) disahkan sebagai payung hukum agraria di
Indonesia dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial.

UUPA 1960 adalah realisasi dari UUD 1945 pasal 33 yang mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun demikian, 50 tahun sejak UUPA diundangkan, nasib petani di Indonesia tetap dalam keadaan terpuruk. Kepemilikan lahan yang sempit (< 0,3 ha)
ditambah dengan jatuhnya harga-harga disaat panen menjadikan petani hidup dalam keadaan tidak layak. Berbagai usaha petani untuk mendapatkan hak atas tanah
seringkali berhadapan dengan kriminalisasi.

Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia hingga tahun 2010 tinggal 12,870.000 ha menyusut 0,1 % dari tahun sebelumnya 12,883.000 ha. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin besar ini jika dibiarkan akan menjadikan kerawan pangan
pada masa yang akan datang, bahkan kelaparan pun akan semakin menggejala.

Hal ini ditambah dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tentang Gabah dan Beras sebagai mekanisme perlindungan terhadap nasib rumah tangga petani sawah yang tidak efektif. HPP masih menguntungkan segelintir pedagang, mekanisme
pengawasan masih sangat lemah.

Pemerintah Indonesia dalam APBN 2010 telah mengalokasikan subsidi pupuk sebesar Rp 14,8 triliun. Angka subsidi itu terdiri atas subsidi harga pupuk sebesar Rp 11,3 triliun turun dari yang seharusnya 17,5 triliun, bantuan langsung pupuk (BLP) Rp 1,6 triliun dan subsidi unit pengolahan pupuk organik sebesar Rp 105 milliar.Pengurangan subsidi ini akan memberikan dampak yang nyata bagi rumah tangga petani, sebab harga eceran tertinggi pupuk dipastikan akan naik.

Pengalaman menunjukkan, dengan adanya kelangkaan pupuk dan disertai dengan mahalnya harga menyebabkan turunnya produktifitas tanaman padi dan pada
gilirannya akan mengakibatkan turunnya kesejahteraan petani.

Melihat fakta diatas, Panitia Peringatan Hari Tani Nasional Ke-50 menuntut kepada pemerintah Indonesia dalam ini Presiden Republik Indonesia, DPR RI, Kementrian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian untuk melakukan redistribusikan 9,6 juta ha tanah kepada rakyat tani.

“Tertibkan dan dayagunakan tanah terlantar untuk reforma agraria. Bentuk Komisi Adhoc untuk menyelesaian konflik agraria dan Pelaksana Reforma Agraria. Dan cabut UU sektoral seperti perkebunan, kehutanan, sumber daya air, pangan, pertambangan, penanaman modal, sistem budidaya tanaman, perlindungan varietas tanaman dan lainnya. Ini karena bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960,” aktivis Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Rifai, (22/9).

“Tolak kriminalisasi petani dalam penyelesaian konflik agraria dan buat UU Hak Asasi Petani. Naikkan HPP Gabah dan Beras sebesar 20%. Bulog harus membeli langsung ke petani dan jadikan tanggal 24 september sebagai Hari Tani Nasional,” lanjutnya. [arp]

Selasa, 21 September 2010

KRAN IMPOR BERAS DIBUKA SELUAS-LUASNYA, MIMPI BURUK BAGI PERTANIAN INDONESIA

Laporan: Ari Purwanto

RMOL.Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI) menolak dengan tegas rencana Pemerintah yang akan membuka kran impor seluasnya bagi pemasukan beras karena akan berdampak sangat buruk bagi pertanian padi di tanah air.

Henry Saragih, Ketua Umum DPP SPI, mengatakan serikat petani tidak dapat menerima rencana Pemerintah memberi perizinan importasi beras. “Kami dengan tegas menolak rencana ini karena begitu banyak dampak ikutan yang akan ditimbulkannya,” ujarnya, hari ini (21/9) di Jakarta.

Menurutnya, pemasukan beras impor sama sekali bukan menjadi solusi untuk mengantisipasi ancaman kekurangan stok nasional. Importasi beras, diyakininya malah akan melemahkan kemampuan Indonesia untuk memastikan ketersediaan pangan dalam negeri karena Indonesia akan terperangkap dalam spekulasi perdagangan pangan dunia.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) berencana memberikan perizinan importasi beras dengan alasan untuk memperkuat stok nasional. Deptan berdalih kebijakan ini bukan merupakan bentuk dari kegagalan kementerian tetap hanya sebagai ujud kewaspadaan Pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya ancaman ketersediaan beras akibat minimnya stok beras di Bulog yang hanya sebanyak 1,4 juta ton.

Importasi beras, lanjut Henry, akan sangat menekan produksi pangan yang dilakukan oleh para petani dan pada akhirnya komoditas beras akan bernasib sama dengan komoditas peternakan pertanian lain. Dimana selama ini komoditas-komoditas tersebut dipasok dari luar negeri meskipun dapat ditanam atau diproduksi dengan baik di Indonesia, seperti kacang kedelai, susu, daging dan tepung terigu.

Dan yang paling parah, kata Henry, yang juga Koordinator Umum La Via Campesina, importasi beras akan menghabiskan begitu banyak devisa negara. Diperkirakannya, anggaran yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengimpor komoditas-komoditas itu saja sudah mencapai US$5 miliar per tahun.

“Karena itu kami menganggap rencana kebijakan impor beras ini menunjukkan Pemerintah telah gagal menyiapkan ketersediaan pangan nasional,” tegasnya. Padahal, menurutnya Pemerintah dapat mengeluarkan berbagai kebijakan yang efektif untuk masalah ini, seperti dengan mengintegrasikan pasokan beras yang ada pada petani dan masyarakat.

Selain itu, katanya, Pemerintah juga dapat mengintegrasikan beras yang ada di tangan para spekulan agar dapat dikelola oleh Bulog. “Tarik beras dari para spekulan, dengan mengeluarkan keppres misalnya, supaya mereka tidak terus-terusan melakukan penimbunan beras,” sambungnya. Kebijakan-kebijakan ini ini menurutnya sangat mungkin dilakukan oleh Pemerintah dan serikat petani juga mendesak agar Pemerintah segera melakukannya.

Dimana pada saat peringatan Hari Tani Nasional (HTN) ke-50 pada 24 September 2010 nanti, serikat petani juga akan mendesakkan beberapa tuntutan lain kepada Pemerintah untuk melakukan pembaruan agraria. Diantaranya meredistribusikan segera 9,6 juta ha lahan kepada rakyat tani dan menertibkan 7 juta ha tanah terlantar untuk reforma agraria, kebutuhan pangan, energi dan perumahan rakyat.

Kemudian serikat petani juga akan menuntut pemerintah mengganti kebijakan revolusi hijau dengan model pertanian berkelanjutan (agro ekologis) dan juga menolak kebijakan korporatisasi pertanian (food estate). “Tuntutan-tuntutan itu akan kami sampaikan kepada Pemerintah dalam aksi nasional peringatan hari tani sekaligus mosi tidak percaya kepada Pemerintahan saat ini,” tegas Henry. [arp]

Senin, 13 September 2010

DAFTAR UTANG BARU PEMERINTAH DI SEMESTER I-2010

Senin, 13/09/2010 16:03 WIB
Wahyu Daniel – detikFinance
Jakarta – Selama semester I-2010 pemerintah Indonesia tercatat telah menandatangani 20 perjanjian utang baru dari berbagai lembaga sektor keuangan internasional. Dari 20 perjanjian tersebut, 8 masuk ke dalam pinjaman program dan sisanya masuk ke dalam pinjaman proyek.
Berdasarkan data yang dikutip dari Ditjen Pengelolaan Utang Negara, Senin (13/9/2010), komitmen utang luar negeri baru ini dikucurkan dalam 3 mata uang yaitu dolar AS, euro, dan yen.
Berikut daftar utang baru yang telah ditandatangani per 30 Juni 2010:
Pinjaman Program
  1. Development policy loan sebesar 8,997 miliar yen dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  2. Climate Change Program Loan III sebesar 27,195 yen dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  3. Climate Change Program Loan III sebesar US$ 300 juta dari Agence Française de Développement (AFD). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  4. Add.Finance BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebesar US$ 500 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk Kemendiknas.
  5. Indonesia climate change development sebesar US$ 200 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang ini untuk Kementerian Keuangan.
  6. Third national program comm.emp.rural sebesar US$ 785 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang ini untuk Kemendagri.
  7. Local Government Decentralization Project sebesar US$ 220 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang ini untuk Ditjen Pertimbangan Keuangan, Kemenkeu.
  8. Indonesia Infrastructure Finance Facility sebesar US$ 100 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk Ditjen Kekayaan Negara, Kemenkeu.
Pinjaman Proyek
  1. Indonesia Infrastructure Finance Facility sebesar US$ 100 juta dari Asian Development Bank (ADB). Utang ini untuk Ditjen Kekayaan Negara, Kemenkeu.
  2. Paiton Steam Power Plant sebesar 4,205 miliar yen dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Utang ini untuk PT PLN (Persero).
  3. Saguling Electric Power Sta.Rehab sebesar 1,303 miliar yen dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Utang ini untuk PT PLN (Persero).
  4. Reg.Solif Waste Management sebesar 3,543 miliar yen dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Utang ini untuk Ditjen Cipta Karya
  5. Third National Program sebesar US$ 149,98 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk Kementerian Pekerjaan Umum.
  6. Java-Sumatera Intercon Trans sebesar 36,994 miliar yen dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Utang untuk PT PLN (Persero)
  7. Java-Bali untuk sektor listrik sebesar US$ 50 juta. Utang dari Agence Française de Développement (AFD). Utang untuk PT PLN (Persero)
  8. 30 unit airport rescue and fire sebesar 13,49 euro dari Agence Française de Développement (AFD. Utang untuk Ditjen Perhubungan Udara
  9. Java-Bali Electricity ditribution sebesar US$ 50 juta dari ADB. Utang untuk PT PLN (Persero).
  10. Add.Finance Extend Java-Bali sebesar US$ 30 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Utang untuk PT PLN (Persero).
  11. Straight Cap build program Lemhanas sebesar 3,695 juta dari Fortis Bank Spanyol. Utang untuk Lemhanas
  12. Straight Cap build program  Lemhanas sebesar 3,695 juta dari ICO, Spanyol. Utang untuk Lemhanas
Berdasarkan daftar tersebut, maka sampai semester I-2010 ada tambahan utang baru Indonesia sebesar US$ 2,484 miliar, 36,192 yen, dan 20,88 juta euro. Daftar utang tersebut belum termasuk pinjaman Alutsista untuk TNI dan Polri. (dnl/dnl)

Sabtu, 11 September 2010

KONDISI INFRASTRUKTUR INDONESIA MASIH JADI MASALAH SERIUS

Jumat, 10/09/2010 22:35:53 WIB

Oleh: Agust Supriadi
JAKARTA: Meski naik 10 peringkat, World Economic Forum (WEF) menilai minimnya dukungan infrastruktur masih menjadi masalah serius dalam meningkatkan daya saing Indonesia.
Edy Putra  Irawady, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perdagangan dan Perindustrian, mengungkapkan WEF menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat ke-44 dari 132 negara untuk periode 2010-201, meningkat dari periode sebelumnya ke-54 dari 131 negara. Perbaikan mutu pelayanan publik atau birokrasi menjadi pendorong utama peningkatan peringlat daya saing usaha tersebut.
“Infrastruktur masih menjadi masalah. Vietnam sebenarnya rangkingnya lebih cepat melompatnya dari pada kita.  Karena perbaikan infrastruktur. Lompatan kita yang tajam karena engine pelanyanan publik,” ujar dia ketika bersilaturahmi ke kediaman Menteri Perekonomian, hari ini.
Kendati demikian, lanjut Edy, peringkat daya saing Indonesia masih lebih baik ketimbang Vietnam meski masih di bawah Malaysia. Penaikan peringkat tersebut diyakini akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia karena akan membuka peluang bisnis yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Pemerintah sekarang sikapnya corporate state run economy. Artinya pemerintah bersikap seperti korporasi dalam menjalankan ekonomi , menjaga daya saing negara, menjaga daya saing swasta. Tidak bisa kita kasih subsidi, tapi APBN kita babar blas (berantakan). APBN harus bugar supaya rating investasi bagus. Makanya tidak bisa kita jual-jual insentif,” tuturnya.
Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian, mengaku belum puas dengan peringkat terbaru daya saing Indonesia versi WEF mengingat dukungan infrastruktur masih dianggap sangat kurang. Oleh karena itu, pemerintah menempatkan masalah infrastruktur sebagai pada posisi tertinggi untuk bisa segera dibenahi.
“Yang membuat (daya saing) kita agak berat adalah masalah infrastruktur. Oleh karena itu, kita sadar betul, untuk infrastruktur kita harus bertarung all out,” katanya.
Akan tetapi, lanjut Hatta, dengan kapasitas APBN yang terbatas, Indonesia akan sulit mengejar ketertinggalan di bidang infrastruktur. Karenanya, perlu dukungan modal dari swasta dan perusahaan-perusahaan pelat merah dengan menawarkan proyek-proyek kemitraan (public private partnership).
Selain pendanaan, menurut Hatta, sulitnya membebaskan lahan untuk proyek infrastruktur juga dinilai sebagai faktor penghambat daya saing Indonesia. Untuk itu, pemerintah akan segera memfinalisasi rancangan Undang-Undang Pembebasan Lahan untuk bisa diajukan ke DPR pada penghujung bulan ini atau paling lambat awal Oktober.
Kemudian, kata Hatta, rumitnya prosedur perizinan dan pelayanan investasi pada proyek-proyek PPP juga dinilai turut menghambat perbaikan infrastruktur di Tanah Air. Oleh sebab itu, buku PPP yang ada saat ini perlu dipertajam lagi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Jadi nanti kewenangan itu diberikan lebih banyak ke BKPM. Sementara pengolahan atau dapurnya ada pada kementerian dan Bappenas. Jadi kalau sudah masuk dalam PPP book, itu sudah available secara komersial. Jadi tidak perlu terlalu banyak, hanya 3-5 proyek saja,” jelasnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida S. Alisjahbana, mengatakan daya saing Indonesia jika diukur dari sisi bisnis dan inovasi sudah lumayan membaik. Hal tersebut sejalan dengan membaiknya potensi pasar menyusul daya beli masyarakat yang juga meningkat.
“Tetapi memang yang masih menajdi PR (pekerjaan rumah) kita adalah infrastruktur. Lalu masalah pendidikan yang kaitannya kepada pendidikan tinggi, itu yang juga harus dikejar,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan merilis perbaikan peringkat daya saing Indonesia 2010-2011 oleh WEF sejalan dengan kenaikan 18 peringkat dari sisi kesehatan makro ekonomi ke posisi 34. Akan tetapi, kondisi infrastruktur Indonesia yang berada pada posisi 82 masih menjadi sorotan serius, terutama menyangkut infrastruktur jalan (posisi 84) dan ketersediaan pasokan listrik (posisi 97).
Selain infrastruktur, hal lain yang juga harus diperhatikan adalah makin memburuknya kondisi kesehatan terutama yang berkaitan dengan tuberculosis (TBC), malaria dan tingginya angka kematian bayi yang  merupakan tertinggi di dunia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengatakan perbaikan peringkat daya saing Indonesia oleh WEF akan berpengaruh pula terhadap perbaikan peringkat kredit Indonesia ke depannya. Pasalnya, lembaga-lembaga internasional menetapkan sejumlah indikator yang hampir sama dalam mengukur tingkat perekonomian suatu negara.
“(Rating kredit) Indonesia untuk bisa menjadi investment grade biasanya butuh 1-1,5 tahun dari upgrade rating terakhir, kalau situasinya normal. Jadi semuanya, apakah itu peringkat CBS, credit rating, atau doing business, itu tetap in-line satu sama lain,” imbuhnya.(msb)
 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates