Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Kamis, 28 Oktober 2010

PERLU PERSPEKTIF BARU SUMPAH PEMUDA

Kamis, 28 Oktober 2010 00:00 WIB
Delapan puluh dua tahun sudah berlalu sejak para pemuda dengan semangat perubahan dan pembaruan, dengan satu prinsip, satu tekad dan satu cita-cita mengikrarkan bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Gelegar Sumpah Pemuda yang diikrarkan dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928, merupakan sumpah satya para pemuda dari berbagai wilayah, suku, dan agama dengan latar belakang kultur yang berbeda dan beragam untuk bersatu sebagai bangsa.

Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dengan cita-cita yang menggunung dan/atau dengan impian yang melangit, yang dilandasi semangat cinta Tanah Air, serta berbingkaikan bahasa Indonesia, para pemuda menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia. Kelak pada kemudian hari, ikrar janji dan sumpah setia itu tidak hanya dilihat dan dinilai sebagai awal pembentukan identitas bangsa, berpatrikan semangat yang bercita-cita tinggi, tetapi juga sebagai wujud kesadaran diri dari masyarakat terjajah untuk membangun bangsa dan negara sendiri yang mandiri dan berdaulat dengan warna kemajemukan. Dan momentum historis yang tercatat dengan tinta emas itulah yang menjadi inspirasi terbangun dan terbentuknya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat dalam wujud Proklamasi yang dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agustus 1945.
Artinya, meskipun sebelumnya sudah ada gerakan Budi Utomo (1908) yang juga monumental, Sumpah Pemuda adalah inspirasi penting lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dan sekaligus sebagai wadah pembentukan karakter bangsa Indonesia secara bersama-sama nan kokoh kuat yang dilandasi perasaan senasib. Itu bisa dikerling dari pengertian bangsa menurut Otto Bauer, yaitu satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Atau, dengan Ernest Renan yang secara lebih simpel mengatakan, ‘kehendak untuk bersatu’ demi menggapai cita-cita bersama seperti yang dilukiskan Benedict Anderson, sebagai komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) sekaligus dengan penegasannya bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah kaum muda.
Kiprah pemuda masa kini
Dengan bertolak dari momentum historis Sumpah Pemuda sebagai inspirasi kehidupan kaum muda dan segenap bangsa saat ini, perlu dicatat bahwa peringatan Sumpah Pemuda setiap tahun hakikatnya bukan sekadar romantisme sejarah. Dengan memperingati Sumpah Pemuda, kita menghidupi kembali semangat dan kesadaran akan kebersatuan sebagai bangsa yang merupakan himpunan suku bangsa yang majemuk dengan perbedaan kultur, suku, dan agama. Dalam hal mana, semangat dan kesadaran akan kemajemukan, tapi bersatu dalam kebersatuan yang eksistensial bangsa Indonesia. Identitas keindonesiaan tidak pernah bisa dilepaskan dari keberagaman sebagai titik berangkatnya. Di sini, Sumpah Pemuda sebagai titik tolak dari pembentukan identitas kebangsaan Indonesia yang memiliki kemandirian yang merdeka dan berdaulat serta kebersamaan dalam kesatuan.
Namun, persoalannya bagaimana dengan kiprah pemuda masa kini? Jika kita ingin menyoroti kiprah pemuda masa kini, hendaknya lebih dulu berkaca pada pemuda di era sebelumnya, termasuk pemuda di era 1928, yaitu yang bertalian dengan pergerakan pemuda 1908, 1945, dan 1966 yang memiliki simpul-simpul dasar yang dapat dirunut untuk menakar heroisme pemuda masa kini, yang tentu saja tidak harus selalu berpusar dalam sumbu politik dan kebudayaan.
Bahwasanya, setiap generasi memiliki karakter tersendiri, seperti pijar-pijar budaya pemuda dan keberbangsaan pada era Budi Utomo 1908 berbeda dengan kiprah pencetus Sumpah Pemuda. Idealisme 1928 membuncah dalam momentum Proklamasi 1945. Kemudian, bangkit kekuatan koreksi revolusioner 1966. Dan jika dicatat bahwa dari era kebangkitan nasional, Budi Utomo 1908 menuju Sumpah Pemuda 1928, diperlukan waktu 20 tahun guna membangun kebudayaan pemuda baru. Kemudian dibutuhkan waktu 17 tahun bagi kelahiran pemuda proklamator 1945. Selanjutnya, 21 tahun kemudian terlahirlah generasi KAMI dan KAPPI yang ikut andil mendirikan rezim Orde Baru 1966.
Tanpa menguraikan secara detail persoalan yang bertalian dengan kiprah pemuda dari masa ke masa itu, yang perlu dikatakan adalah bahwa kiprah pemuda kini berbeda jauh dengan kiprah pemuda pada era sebelumnya yang memiliki kultur politik tertentu. Pemuda kini hidup dalam dunia yang serbapragmatis sebagai imbas dari guliran budaya global yang merasuk budaya Indonesia lewat perkembangan teknologi dan informasi dengan gaya instannya yang sangat memekat. Akibatnya, pemuda kini tidak lagi mempersoalkan ideologi dalam tataran makna, tetapi pada tataran perbuatan. Itulah yang membuat pemuda kini lebih berkonsentrasi mengejar prestasi di bidang ekonomi, dan perebutan prestise di berbagai tataran sosial, ekonomi, dan politik.
Dari situlah tersembul di kalangan pemuda, semangat dan keinginan untuk tampil pada garda paling depan dalam memprotes segala kepincangan sosial, ekonomi politik, dan hukum. Dan puncak dari perjuangan pemuda dalam bingkai ini adalah lahirlah aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa dalam menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru dengan mengusung gerbong reformasi dengan berbingkaikan demokrasi. Sebuah karya pemuda yang tidak kalah monumentalnya jika dibandingkan dengan karya pemuda di era 1928.
Perspektif baru
Akhirnya, dapat dicatat bahwa kultur pemuda dari masa ke masa, hampir selalu berputar pada sumbu kebudayaan, terutama politik. Kebudayaan dan politik suatu bangsa terutama dinamika budaya pemudanya adalah hasil karya yang merupakan kristalisasi jawaban atas pertanyaan dan tantangan zaman yang berbeda dari waktu ke waktu. Itulah yang ikut membentuk kondisi sosiologis dan politik pemuda dengan segala potensi yang dimiliki sebagai garda depan dalam dimensi perubahan sosial dan politik tersebut.
Karena itu, yang diharapkan dari pemuda saat ini adalah selalu menjadikan gerakan pemuda pada era sebelumnya sebagai inspirasi perjuangannya. Implementasi inspirasi itu, yakni dengan selalu berperan aktif dalam setiap perubahan sosial, ekonomi, dan politik nasional dan global demi mengantarkan bangsa pada pencerahan kehidupan bangsa dalam menyongsong zaman yang terus maju ini agar lebih beradab. Di sinilah diperlukan semangat dan kerja keras para pemuda untuk merebut peluang-peluang sosial, ekonomi, dan politik dalam ranah global demi membawa bangsa ini mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Adalah para pemuda dengan penuh semangat, terlibat dalam pemecahan masalah-masalah aktual bangsa seperti selalu terganggunya kemajemukan bangsa yang membuncah dalam friksi dan konflik yang berlatar suku, agama, ras dan antargolongan, serta masalah-masalah internasional yang mengglobal.
Artinya, pemuda-pemuda kini harus lahir dengan semangat baru yang inspiratif sehingga dapat mencetuskan semacam ‘sumpah pemuda baru’, dengan format, dimensi dan/atau perspektif baru yang berlandaskan pada seruan moral dan politik baru sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan peradaban.
Itulah yang sangat diperlukan saat ini karena musuh bersama yang dihadapi pemuda di era 1908, 1928 dan 1945, seperti penjajahan yang menjadi pemicu pergerakan mereka telah ditelan sejarah dan kini telah lahir bentuk-bentuk penjajah berwajah baru yang lebih halus, tetapi sebenarnya tak kalah menyakitkan, seperti penguasaan lahan-lahan ekonomi di negeri ini oleh negara-negara kaya nan kapitalis, dan anak-anak bangsa ini hanya menjadi kaum buruh di negeri mereka sendiri.
Oleh Thomas Koten
Direktur Social Development Center

Selasa, 26 Oktober 2010

EKONOMI KERAKYATAN ITU SANGAT SIMPEL

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Cornelis Lay, Guru besar Universitas Gadjah Mada mengingatkan kita tentang bahaya neoliberalisme.  Sebuah ideologi yang mengedepankan ekonomi pasar yang cenderung tidak berpihak pada rakyat. Sebaliknya, ia berbicara tentang ekonomi kerakyatan sebagai solusi permasalahan bangsa.
Lalu bagaimana Cornelis Lay berbicara mengenai teori  ini. Inilah petikan wawancara Rakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay di Leiden, Negeri Belanda.

Bisa anda ungkapkan tentang hakekat ekonomi kerakyatan?
Menurut saya, ekonomi  kerakyatan itu sangat simpel,  tidak  terlalu  rumit. Karena memang  sudah dikonstruksikan di dalam Konstitusi (1945) yang lama. Pertama, seluruh kekayaan alam, bumi, dan semua yang  terkandung di dalamnya itu harus berada di tangan negara. Dan semua itu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manifestasinya itu di dalam bentuk  hadirnya perusahaan-perusahaan  publik, yang mengontrol  sumberdaya-sumberdaya  strategis.
Kita memang trauma dengan permasalahan korupsi di perusahaan-perusahaan negara (BUMN – Badan Usaha  Milik Negara)  itu. Namun, menurut saya, korupsi itu yang harus dihilangkan, bukan BUMN nya yang  harus  dihilangkan. Itu lah problema Indonesia. Karena  efesiensi, efektivitas dan  tidak  korup  itu sebenarnya  soal manejemen, bukan  soal kepemilikan.
Dengan  cara  seperti  itu  fungsi-fungsi  sosial dari berbagai  institusi  itu berjalan dengan baik.  Tapi sekaligus Konstitusi  kita yang lama mengatakan, bahwa usaha-usaha ekonomi itu disusun dengan keseimbangan, antara usaha-usaha yang sifatnya berbasis  kolegialitas  masyarakat, yang kita sebut koperasi, dengan usaha-usaha yang sifatnya  individual yang  kita  sebut perusahaan swasta dan  juga BUMN  itu. Jadi ada peran, di mana  negara  memegang peran yang  besar,  ada peran koperasi  dan peran perusahaan orang  perorang.  Problema kita saat sekarang ini adalah peran negara (BUMN) dan peran koperasi itu (telah) kita bunuh. Kita melepaskan semuanya  itu kepada privat,  kepada  individual.
Kedua, ekonomi  kerakyatan itu  juga berkaitan dengan tata cara kita mendistribusikanresource (sumber daya) nasional. Kalau kita menganggap, bahwa kekuatan ekonomi Indonesia itu terletak pada sektor pertanian, karena itu  adalah sektor yang paling banyak melibatkan tenaga produktif rakyat Indonesia dan di sanalah masa depan dari masyarakat justru ada. Maka distribusi sumber daya nasional kita harusnya menggambarkan keyakinan itu. Uang itu harusnya lebih banyak dikasihkan ke situ,  ke sektor pertanian.
Kenyataannya  sekarang  ini sebaliknya. Pertanian  kita  mengalami deagrarisasi , seluruh infrastrukturnya hancur  berantakan tidak  ada yang memperhatikan,  nggak ada  insentif  apapun membuat orang  masih senang  atau  berkeinginan  menjadi petani.  Sekarang ini sebagian besar petani  kita  usianya 50-an ke atas. Akhirnya sektor  pertanian ini mengalami kehancuran  secara  total. Dan justru yang  kita kembangkan adalah sektor-sektor yang  samasekali tidak  menghasilkan  apa-apa kecuali  janji, jasa -  pasar obligasi, pasar uang. Itu semua, orang berspekulasi di situ. Gambaran dari kerakyatan itu ada pada policy (kebijakan) yang memihak pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh rakyat, misalnya pertanian, perikanan, sektor-sektor  informal  itu adalah sektor atau aktivitas-aktivitas ekonomi pokok yang mestinya ditopang  secara  habis-habisan oleh keuangan negara. Dan itu yang tidak terjadi.
Kita lebih  suka  membantu bank yang  bangkrut  sampai  triliunan rupiah, ketimbang, misalnya  saja, membantu  petani  yang  kena pajak. Itu penggambaran pada level policy (kebijakan). Tetapi ekonomi kerakyatan juga sekaligus menggambarkan bukan saja pola kita mendistribusikan sumber nasional , tetapi pola kita mengkonsumsi.  Kalau kita percaya, bahwa tumpuan ekonomi kita itu ada di dalam, yang paling gampang sajalah,  yakni pertanian tadi. Nah, kan mestinya, tata cara kita merancang pola konsumsi  kita juga sama. Lha kita yang kita dorong adalah mie yang gandumnya didatangkan dari Amerika. Itu sudah aneh. Jadi pola konsumsi nasional  juga harus dipakai untuk mendorong  pertanian kita.
Kita lihat orang Jepang saja gampang, ke mana dia pergi keluar negeri yang tidak membeli produk buatan Jepang, restoran Jepang, kamera Jepang, semuanya serba Jepang. Kita pergi ke Korea Selatan, 99 persen kendaraannya pasti produk Korea Selatan. Demikian juga ke China, penduduknya membeli  produksi dalam negerinya sendiri.
Nah, kita ini terbalik. Jadi kira-kira itu penggambaran-penggambaran. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, harus ada sistem pengorganisasian produksi ekonomi yang jelas, dengan memberikan kepercayaan pada negara untuk terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Tetapi juga ada kesempatan diberikan kepada kolektivitas masyarakat dalam bentuk koperasi  dan sebagainya. Disamping  sudah tentu, hak  secara  individual juga diberikan, distribusi  keuangan negara,  prioritas konsumsi kita, skala prioritas pembangunan kita itu  mestinya  jalan  semua. [arp]

Senin, 25 Oktober 2010

2011, INDONESIA TERANCAM KRISIS PANGAN

Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat untuk mengatasi ancaman krisis pangan yang akan melanda dunia tahun depan.
Krisis pangan tersebut disebabkan oleh melambungnya harga bahan pangan, terjadinya kegagalan pangan di berbagai negara dan akibat cuaca ekstrim.
Demikian pernyataan dari Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Arif Satria, usai deklarasi wadah sarjana pertanian di Jakarta, Sabtu (23/10/2010).
Secara global kenaikan harga pangan dunia mencapai 35 persen. Meroketnya harga makanan dunia ini, menurut Arif Satria yang juga Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, disebabkan karena melambungnya harga benih jagung yang mencapai 36 persen, harga benih gandum yang mencapai 72 persen. Sedangkan pupuk melonjak hingga 59 persen dan harga pakan 62 persen.
Krisis pangan juga disebabkan karena cuaca ekstrim 2010. Menurut Arif, PISPI mengidentifikasi 2010 terdapat cuaca ekstrim di belahan dunia yang bisa berujung kelangkaan pangan, antara lain gelombang panas dan kebakaran hutan di Rusia (Juni 2010), banjir akibat hujan lebat di Pakistan, longsor akibat hujan lebat di China (7 Agustus 2010), pecahnya es di Greenland (5 Agustus 2010), kekeringan dan kebakaran di Australia, suhu panas di Amerika.
”Bahkan sampai pertengahan tahun depan intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim akan lebih sering terjadi. Perubahan iklim global diproyeksikan akan berdampak pada produksi pangan. Saat ini negara-negara produsen cenderung mengamankan produksinya untuk kebutuhan dalam negeri,” ujar Arif.
Untuk itu, PISPI mengharapkan pemerintah membuat terobosan dan langkah kongkrit untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Insentif dari pemerintah kepada petani wajib diberikan dalam bentuk bantuan benih, pestisida, pupuk dan jaminan harga yang layak bagi petani produsen. Pemerintah, menurut PISPI, juga menerapkan cadangan pangan baik di pusat maupun daerah. ”Wujudnya pembelian pangan dari petani dengan harga memadai,” imbuhnya.
Untuk mengatasi perubahan iklim, PISPI mengusulkan agar pemerintah memberikan petunjuk yang jelas apa yang harus dilakukan oleh petani produsen dalam menghadapi ketidakpastian musim.
”Jangan biarkan petani bergerak sendiri tanpa bimbingan pemerintah,” tegas Arif.
Lemahnya keberpihakan pemerintah pada pertanian, dituding sebagai penyebabnya. ”Lihat saja masih diandalkanya produk impor komoditi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Padahal kalau mau kita memiliki berbagai kemampuan untuk mengatasi hal tersebut,” ujar Arif. Impor pangan per tahun menghabiskan devisa negara tak kurang Rp50 triliun.(okz)(koranbanten.com)

Sabtu, 23 Oktober 2010

CORNELIS LAY: INDONESIA SUDAH BETUL-BETUL DITEKUK OLEH IDE NEOLIBERAL

Cornelis Lay: Indonesia Sudah Betul-betul Ditekuk oleh Ide Neoliberal
Kamis, 21 Oktober 2010 , 14:17:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Pada akhir bulan September yang lalu, Drs Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol  UGM (Universitas Gajah Mada) berkesempatan bincang-bincang  dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.
Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berbicara panjang lebar mengenai gagasan neoliberal, tentang ide ekonomi kerakyatan.
Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal  sangat berkembang sekarang ini di Indonesia. Itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.
Sedangkan gagasan ekonomi kerakyatan, menurut Cornelis Lay, diilhami atau didorong oleh keresahan masyarakat terhadap dominasi ide pasar atau ide neoliberal yang sudah praktis menguasai seluruh kehidupan kita. Dan gagasan yang namanya ekonomi kerakyatan ini sebenarnya diturunkan dari gagasan-gagasan yang sudah lama dipikirkan dan sudah lama ditulis oleh Bung Karno.
Berikut ini petikan perbincangannya.
Sulit dibantah bahwa gagasan neoliberal  memang sudah benar-benar mencengkram  Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?
Itu kan merupakan kesimpulan yang praktis sudah disepakati oleh banyak orang. Pertama-tama, karena  orang melihat pada produk-produk policy atau kebijakan,  yang dihasilkan oleh baik parlemen maupun pemerintahan atau kabinet setelah Pemilu 1999 itu, memang lebih mempercayai pasar sebagai kekuatan untuk men-drive ekonomi, pasar sebagai kekuatan untuk mendistribusi sumberdaya-sumberdaya publik. Sementara pemerintah itu hanya melibatkan diri sebagai fasilitator yang cenderung pasif.
Dan fungsi negara sebagai fasilitator, fungsi negara sebagai institusi yang harusnya melindungi, memberdayakan dan sekaligus membela kepentingan-kepentingan sebagian besar kelompok masyarakatnya yang tertindas secara ekonomi itu memudar secara sangat luar biasa. Ide bahwa pasar itu adalah kekuatan utama sebagai alokator sumber daya yang paling baik dan paling adil itu adalah inti dari gagasan neoliberal.
Gagasan yang mengandaikan atau mengasumsikan institusi di luar pasar itu harus mundur, perannya harus terbatas. Dan itu digambarkan oleh permintaan untuk negara itu mundur dari banyak sektor, termasuk di dalamnya adalah negara tidak boleh mensubsidi, peran-perannya dibatasi. Nah ini yang menyebabkan orang berkesimpulan seperti itu.
Tetapi ini bukan sesuatu yang khas Indonesia dan kecenderungan neoliberal sebagai ideologi  yang menuntun kebijakan-kebijakan itu berlangsung praktis di seluruh dunia. Sangat sedikit kita bisa melihat negara yang masih mampu bertahan dengan memberikan peran jauh lebih besar atau paling tidak sebanding antara negara dan pasar.
Apa hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh kekuatan neoliberal?
Ya, negatifnya sudah dibuktikan oleh pengalaman sejarah panjang, bahkan negara-negara Barat yang sekarang ini banyak juga mempromosikan gagasan neoliberal. Bahwa bekerjanya pasar itu pasti akan memarjinalkan sebagian terbesar dari masyarakatnya, melahirkan akumulasi ekonomi, kapital di tangan orang yang semakin terbatas, yang membuat memang kesenjangan antara orang-orang yang mampu dan orang-orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar itu semakin melebar. Dan ini kemudian itu yang paling ditakutkan banyak orang. Dan sebenarnya pengalaman-pengalaman dari negara-negara Eropa itu sudah menunjukkan kenapa mereka habis-habisan membangun sistem welfare state (negara kesejahteraan), justru karena itu merupakan koreksi terhadap kepercayaan yang berlebihan terhadap pasar yang melahirkan marjinalisasi sebagian besar kelompok masyarakat.
Di negara berkembang semacam Indonesia, dengan menjalankan neoliberal itu,  produk-produk yang mereka hasilkan itu sulit bersaing dengan komoditi sejenis yang diproduksi negeri lain. Bukankah demikian?
Hal itu jelas merupakan persoalan tersendiri. Liberalisasi atau penerapan policy (kebijakan) neoliberal  itu perkembangan sekarang ini termasuk di Indonesia itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar. Misalnya saja bidang pendidikan. Dulu pendidikan itu adalah sebuah sektor yang  dianggap strategis  dalam rangka pembangunan kharakter dan sekaligus juga membuat demokrasi dari bangsa. Karena itu dia (pendidikan) menjadi bidang yang tertutup. Sekarang ini pendidikan diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Dan sekarang ini, ya perguruan tinggi dari negara mana pun boleh membuka perguruan tinggi di Indonesia atas nama liberalisasi, atas nama neoliberal, atas nama keunggulan pasar. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan. Akibatnya kita akan menyaksikan dan ini yang paling ditakutkan banyak orang dan kenapa orang cemas terhadap gagasan neoliberal ini nanti seluruh kekuatan produksi domestik kita hancur.
Rumah sakit kita boleh jadi akan bangkrut dan kita cuma punya rumah sakit asing. Boleh jadi perguruan tinggi kita, sekolah-sekolah kita akan bangkrut, atau berada di pinggiran nggak ada lagi orang yang mau masuk. Dan karena itu seluruh pendidikan  kita, kita akan serahkan kepada asing, dan itu punya banyak implikasi. Implikasi di dalamnya adalah, antara lain, tempat bagi orang atau tempat bagi proses pendidikan warga bangsa, kharakter bangsa, kebudayaan  bangsa dan seterusnya  tidak relevan lagi. Karena bagi mereka kan bukan itu yang penting. Pendidikan itu kan perkembangan skill.
Contoh yang paling gamblang dalam hal ini?
Taruhlah kalau nanti  rumahsakit-rumahsakit negara itu sudah hilang, karena memang tidak efisien, karena memang pelayanannya lebih buruk. Dan seluruhnya itu menjadi rumahsakit swasta. Dan swastanya itu swasta luar negeri. Pertanyaannya, kalau ada si Poniman, Poniran, Pariyem yang tidak punya uang, siapa yang tanggungjawab?
Contohnya sekarang jelas, rumahsakit kita itu sudah proses yang kemaren ribut-ribut itu di rumahsakit internasional itu. Itu sangat jelas. Itu gambarannya. Contoh yang gamblang lainnya lagi, lihat saja di Jakarta. Semua perguruan dari negara-negara lain itu sudah buka cabang. Jadi sudah seperti  membuka franchise. Jadi membuka perguruan tinggi sudah sama seperti orang membuka Mc Donald. Ada cabang di Jalan Sudirman, nanti ada cabang di mana lagi. Ada cabang di mana-mana, itu sudah menjadi waralaba. Bukan lagi menjadi  konsep awal, bahwa itu konstitusi kita mengatakan bahwa kewajiban negara itu mencerdaskan kehidupan berbangsa itu sudah hilang. Karena tidak ada itu urusannya perguruan tinggi dari luar negeri bicara soal itu. (Bersambung) [arp]

KEMITRAAN UKM & INDUSTRI BESAR DIHARAP JADI SOLUSI

Written by Bisnis Indonesia-Rudi Ariffianto
Thursday, 21 October 2010 14:44

SOLO: Kemitraan pelaku industri kreatif skala usaha kecil dan menengah, khususnya industri mebel, dengan industri yang lebih besar diharapkan menjadi solusi masalah UMKM terkait akses modal, teknologi, keterampilan dan pemasaran.

Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Nedi Rafinaldi Halim mengatakan Indonesia kini memiliki sekitar 50,27 juta pelaku usaha mikro.

Umumnya, kata dia, usaha-usaha mikro tersebut hanya berpenghasilan di bawah Rp300 juta per tahun dengan aset Rp50 juta.

“Itu bagian terbanyak di Indonesia dengan serapan tenaga kerja 80% dari sektor UMKM,” katanya, hari ini.

Khusus untuk sektor industri kreatif, tuturnya, keterlibatan pelaku usaha kecil dan mikro masih lebih banyak dalam skala industri rumah tangga.

“Biasanya juga keterampilan dan akses dana masih lemah. Selain itu, mereka juga belum begitu kenal teknologi yang memadai,” katanya.

Menurut data Kementerian Perdagangan, produk domestik bruto industri kreatif sekiar 44,8% berasal dari sektor fashion, dan kerajinan termasuk mebel 27,2%. Artinya, kata dia, industri kreatif terutama mebel memiliki potensi besar untuk dibangun.

Pembangunan industri tersebut, jelasnya, bisa dilakukan dengan cara kemitraan antara usaha besar dan UMKM. “Ini sejalan dengan UU No.20/2008, di mana dibutuhkan kemitraan di antara pelaku usaha,” ujarnya

Inilah Cara Mengantisipasi Kedigdayaan Ekonomi Neoliberal

Kamis, 21 Oktober 2010 , 17:54:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) sempat berbincang denganRakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia itu, bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Lalu bagaimana untuk mencegah penjajahan neoliberalisme, berikut lanjutan petikan wawancaraRakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay.

Bagaimana menurut Anda mengantisipasi kedigdayaan ekonomi neoliberal?

Ya, mestinya fungsi-fungsi negara itu diletakkan secara wajar. Artinya ada fungsi di mana negara itu memang harus berperan sebagai regulator. Dia mengatur saja, dia tidak perlu terlibat di dalam proses , tidak perlu mengintervensi dalam produksi, tidak perlu mengintervensi dalam distribusi. Tetapi dia mengatur agar supaya proses itu berjalan dengan baik, adil untuk semua orang.

Nah, mungkin pasar bekerja di situ. Tetapi ada saatnya negara itu berfungsi cukup sebagai fasilitator. Di mana dia hanya akan membantu mereka-mereka yang tidak punya kapasitas untuk berkompetisi. Tetapi ada saatnya memang negara itu harus berfungsi sebagai produsen dan distributor. Terutama untuk produk-produk yang memang tidak mungkin dibiarkan ke publik. Ini contoh saja pendidikan, kesehatan. Itu harusnya tanggungjawab pokok negara untuk membuat rakyatnya sehat, membuat rakyatnya cerdas.

Nah itu tidak bisa negara kemudian sudahlah, negara hanya sekedar ngatur, bikin peraturan pemerintah atau undang-undang , agar supaya perguruan tinggi ini tidak saling membunuh dengan perguruan tinggi yang lain dan seterusnya. Karena idenya itu bukan sekedar mengajarkan satu tambah satu berapa, satu kali satu itu berapa. Tetapi idenya itu adalah, bahwa pendidikan itu sekaligus medan untuk membentuk keindonesiaan, medan untuk membentuk kharakter bangsa, medan untuk membangun kebudayaan bangsa.

Mengapa itu menjadi penting?

Karena semua bangsa yang besar itu pasti punya kekuatan dalam pendidikan, yaitu medan untuk membentuk kharakter bangsa, medan untuk membangun kebudayaan itu tadi. Jepang tidak mungkin tumbuh menjadi negara besar tanpa karakteristik yang sangat keras dari Jepang yang diturunkan dari generasik ke generasi dalam proses pendidikan. Di Amerika Serikat, memang karena nilai yang diajarkan dari dulu memang nilai individualitas dan kapasitas kompetisi itu tradisi yang dikembangkan seperti di Eropa.

Kalau di Indonesia mana yang mau diturunkan? Tidak ada. Karena isu-isu pendidikannya hanya itu. Atau hal-hal yang memang amat strategis yang tidak bisa dialihkan. Amerika Serikat sangat liberal. Tetapi ketika ada perusahan dari Negara Arab mau membeli port (dermaga)nya, yang ditinjau dari sudut keuangan, efesiensi macam-macam tidak menguntungkan, itu ditutup habis oleh Kongres AS tidak boleh dijual. Tidak boleh yang namanya portnya Amerika Serikat itu djual, diswastakan apalagi dijual kepada pihak asing dari Negara Arab itu.

Nah, AS-negara yang kita anggap setia kepada prinsip-prinsip neoliberal atau liberalisme secara keseluruhan saja masih merasa perlu melindungi rakyatnya, kepentingan nasionalnya. Masa Indonesia boleh atau kok begitu mudahnya memberika ruang bagi pasar itu masuk ke mana-mana saja. Ini contoh yang paling konkret.

Sampai hari ini, petani di Eropa, di AS, tetap dilindungi oleh pemerintahnya dengan diberi subsidi yang sangat luar biasa besarnya. Di Indonesia, kita merasa bahwa, kalau kita melindungi petani kita adalah kejahatan. Ini agak aneh, karena kita dianggap melakukan kejahatan terhadap pasar. Padahal dengan tidak melindungi petani kita, justru kita melakukan kejahatan terhadap rakyat kita.

Permasalahan yang mungkin memprihatinkan adalah soal penanaman modal asing. Seperti diketahui Undang-undang Penanaman Modal Asing diganti dengan Undang-undang Penanaman Modal. Bagaimana penilaian Anda?

Justru itu, salah satu indikasi paling kuat kenapa orang mengatakan kita (Indonesia) itu sudah betul-betul ditekuk oleh ide neoliberal. Ya ditetapkannya UU Penanaman Modal itu. Undang-undang tentang kepabeanan, UU tentang pelabuhan dan undang-undang tentang apalagi itu semuanya pokoknya tidak ada lagi pembeda antara dalam negeri dan luar negeri. Para pemilik perusahaan-perusahan dari luar negeri dan dalam negeri silakan berkelahi, silakan bunuh-bunuhan, silakan cekik-cekikan, yang penting adalah anda jalan. Dan hasilnya kita bisa bayangkan, tidak mungkin perusahaan-perusahaan nasional kita itu bisa mampu bersaing dan bertahan. Bukan karena mereka tidak cukup cakap, tetapi secara kultural mereka sudah terlampau lama hidup dalam proteksi negara, terlampau lama dipaksa untuk menjadi outlooking hanya berkompetisi kedalam. Karena ketika itu dilepas, ya bubar semua. (Bersambung) [arp]

Rakyat Dipaksa Senang dengan Neolib

Jum’at, 22 Oktober 2010 , 22:30:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) sempat berbincang denganRakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia itu, bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang digawangi SBY-Boediono juga dinilai lebih merepresentasikan semangat neolib dibanding kepentingan nasional. Lalu apa kata Cornelis Lay tentang hal itu. Berikut ini adalah kutipan pembicaraannya.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dibawah Presiden SBY boleh dibilang tidak berhasil membuat kehidupan rakyat menjadi sejahtera. Meskipun begitu dalam Pemilu bulan Juli 2009 Susilo Bambang Yudhoyono, yang memilih Boediono sebagai pasangan Cawapresnya, telah berhasil memenangkan Pemilu hanya dalam satu putaran saja. Bagaimana pendapat Anda?

Karena memang masyarakat kita tidak melihat sampai sejauh itu. Resiko-resiko dari pekerjaannya ide neoliberal dalam keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, berekonomi kita, bersosial kita, berkebudayaan kita – itu kan tidak bisa ditangkap oleh semua rakyat sebagai pemilih.

Yang bisa ini kan cuma beberapa orang. Orang yang mempelajari betul akibat-akibat, yang sifatnya permanen, sifat merusak, jangka panjang sifat negatif dan seterusnya, bertugas untuk memberi tahukan hal-hal negatif tersebut.

Nah, rakyat kebanyakan kan yang dipikirkan adalah ya udahlah, kalau partai ini bisa menyediakan beras atau uang sekian ribu Rupiah untuk selama Pemilu itu, pasti itu bagus. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, bahwa rakyat pemilih tidak memilih berdasarkan kebijkan yang ditawarkan. Mereka memilih berdasarkan apa yang bisa ditawarkan kepada mereka sebagai orang perorang, individu.

Dengan kembali SBY terpilih sebagai Presiden, apakah itu bukan bukti bahwa rakyat atau para pemilih senang dengan neolib?

Menurut saya bukan karena rakyat Indonesia senang dengan neolib, mereka sebenarnya tidak tahu, bagaimana neolib itu bekerja, apa akibatnya. Mereka cuma melihat, SBY populer, ya sudah selesai urusannya. Ya, itu memang masalah kita sebagai bangsa yang masih sebatas itu. Rakyat Indonesia rata-rata cuma lebih memperhatikan popularitas, lebih memperhatikan apa yang tampak orang ngomong, tapi sebenarnya dia tidak menyimak sebenarnya apa yang terjadi. [arp]

PEMPROV DKI JAKARTA GAGAL ATASI KEMISKINAN

Sabtu, 23 Oktober 2010 , 06:48:00 WIB
RMOL. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta jangan mengeyampingkan permasalahan kemiskinan di ibukota. Banyaknya anak putus sekolah dan biaya kesehatan yang terlampau tinggi, makin memberatkan beban warga tidak mampu.
Hal ini dinyatakan anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Wanda Hamidah. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran anggaran yang ditetapkan Pem prov DKI selama ini tidak tepat sasaran dan cenderung tidak efisien dan  efektif. Banyak anggaran yang tidak me­nyentuh lang sung ke ma sya rakat.
“Di bidang pendidikan, yang penting adalah akses masyara kat DKI di bidang pendidikan ter buka lebar. Jangan ada lagi anak putus sekolah,” kata Wan da k e­pada Rakyat Merdeka.
Kenyataannya, sambung Wanda, angka anak putus sekolah dan anak yang tidak bisa me lanjutkan sekolah seperti dari SD ke SMP, SMP ke SMA atau dari SMA ke universitas masih tinggi. Di Jakarta Utara saja, yang tidak bisa sekolah ataupun putus sekolah terdapat se kitar 23.000 anak karena faktor kemiskinan.
Padahal, lanjut Wanda, alokasi Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sudah cukup besar. Ke­mudian ditambah gaji guru dan tunjangan lainnya, bisa dikatakan cukup sejahtera. Makanya, Wanda mempertanyakan, kenapa yang terjadi di lapangan, tidak disertai peningkatan kualitas murid.
Ketua Fraksi Amanat Bangsa DPRD DKI Jakarta ini menga takan, kemiskinan yang terjadi di ibu­kota disebabkan kurangnya perhatian dari Pemprov DKI.
“Masalah kemiskinan bisa dibilang menjadi masalah ne gara yang semakin berkembang se tiap tahunnya. Tapi pemerintah sampai sekarang belum mampu mengatasi masalah tersebut. Karena hingga Okto ber 2010, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di DKI mencapai 323,170 jiwa (3,62 persen),” terangnya.
Mengomentari hal ini, ang gota Komisi E DPRD DKI Ja karta Ash raf Ali menyatakan, diperlukan langkah untuk me ngubah keten tuan kri teria bagi warga miskin. Khu susnya me re ka yang tinggal di Ja karta. Pa salnya sebagai kota metro po litan dan ibukota negara, sa ngat sulit mencari warga yang hidup sesuai kriteria tersebut.
“Ketentuan miskin harus di sesuaikan dengan kondisi ekonomi minimal suatu daerah. Pemprov DKI Jakarta harus mengkaji kembali kriteria ini,” ucap Ash raf.
Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat yang juga menjabat Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penang gulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto menyatakan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) belum bisa menyentuh warga miskin yang paling kecil. Namun baru sampai pada usaha menengah melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan pinjaman dana melalui perbankan.
Menurutnya, Pemprov DKI justru telah mempunyai prog ram pengentasan kemiskinan yang menyentuh warga miskin yang benar-benar miskin. “Karena itu, kami ingin belajar dari Pemprov DKI sehingga bisa menerapkan nya di daerah-daerah lain,” ucap Bambang saat ditemui di Balai kota, Jakarta.
Dengan sinergi antara PN PM-MP dan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kelurahan (PEMK), di harapkan membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia agar mencapai 5-6 per sen. Apalagi kota Jakarta yang pertumbuhan ekonominya sudah melebihi rata-rata nasional. Serta menurunkan jumlah warga miskin yang saat ini mencapai 13,14 persen atau 31,4 juta dari total po pulasi pen duduk Indonesia.
TNP2K mengharapkan dapat bersinergi dengan Pemprov DKI. Agar PNPM-MP bisa bersinergi dengan program pemberdayaan masyarakat, membutuhkan Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) dari pemerintah daerah.
“Jadi mohon dukungannya agar PNPM-MP bisa disinergikan dengan PEMK di Jakarta,” harap Bambang. [RM]

Kamis, 21 Oktober 2010

EDAN, 60 UU INDONESIA DIPENGARUHI PERUSAHAAN DAN LSM ASING

Edan, 60 UU Indonesia Dipengaruhi Perusahaan dan LSM Asing
Rabu, 20 Oktober 2010 , 06:14:00 WIB, Laporan: Ade Mulyana
RMOL. Setidaknya ada 60 produk perundangan Indonesia yang dipengaruhi kepentingan perusahaan asing dan sangat merugikan kepentingan nasional.
Begitu disampaikan anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudhohusodo kepadaRakyat Merdeka Online di Gedung DPR Senayan, kemarin siang (Selasa, 19/10).
Dia mencontohkan, UU sumber daya air dan sejumlah perundangan yang mengatur praktik perbankan.
Karenanya, dia meminta agar pemerintah mewaspadai segala kepentingan tertentu yang ditargetkan oleh lembaga asing, baik perusahaan maupun LSM asing seperti Greenpeace.
Dia juga mengatakan, data yang disampaikan Greenpeace mengenai kerusakan hutan Indonesia, misalnya, harus diwaspadai karena bisa jadi merupakan bagian dari skenario asing menyudutkan perekonomian nasional Indonesia.
“Data tersebut jelas-jelas berorientasi kepada kepentingan perusahaan luar negeri. Pemerintah jangan mudah percaya info-info itu,” katanya.
Dia juga mengatakan, bukan baru kali ini LSM asing itu memiliki agenda terselubung. Dari pengalaman yang lalu, demikian Siswono, LSM asing bahkan sudah berhasil mempengaruhi sampai tingkat perundang-undangan tadi. [guh]

Jumat, 15 Oktober 2010

8,6 JUTA LULUSAN JADI PENGANGGURAN TERBUKA

8,6 JUTA LULUSAN JADI PENGANGGURAN TERBUKA

Jumat, 15/10/2010 15:57:15 WIB
Oleh: Hilda Sabri Sulistyo
JAKARTA: Sedikitnya 8,6 juta lulusan pendidikan di Indonesia dari 116,8 juta angkatan kerja belum terserap dunia kerja dan menjadi angkatan pengangguran terbuka.
Kementerian Pendidikan Nasional menilai perlu link and match atau penyelarasan antara kebutuhan dunia kerja dengan kompetensi yang dimiliki oleh para lulusan pendidikan di Indonesia.
“Masalahnya, itu karena rendahnya kompentensi kualifikasi lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha,” kata Direktur Kursus Ditjen Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Wartanto, hari ini.
Menurut dia, angka pengangguran yang tinggi juga disebabkan antara lain oleh tingkat produktifitas kerja yang rendah, kesenjangan upah antar pekerja relatif besar, kenaikan upah belum diikuti dengan peningkatan produktifitas, serta kesenjangan partisipasi kerja antara wanita dan pria yang cukup tinggi.
“Kajian mengenai konsep penyelarasan yang selama ini dilakukan oleh Kemendiknas baru menjawab permasalahan secara parsial. Dari konsep tersebut diisyaratkan adanya kebutuhan kordinasi yang baik antara pihak penyedia lulusan pendidikan (supply driven) dengan pihak yang membutuhkan tenaga lulusan (demand driven).”
Untuk itu, lanjut dia, diperlukan reingeneering sistem pendidikan pada setiap level dan bidang dalam menyediakan lulusan atau SDM sesuai kebutuhan dunia kerja.
Tak hanya itu, tambah Wartanto, dibutuhkan peramalan kebutuhan akan sektor-sektor kerja
agar kualifikasi para lulusan bisa tepat sasaran dengan kebutuhan pasar.
“Kebanyakan yang terjadi saat ini adalah lulusan misalkan lulusan SMK tata boga bekerja di lahan pekerjaan tekstil,” ungkapnya.
Solusi dari permasalahan tersebut adalah perlunya kordinasi antara Kemendiknas dan kementerian lain yang memiliki fungsi pendidikan dengan dunia kerja. Tak hanya itu, tegas dia, perlu juga dilakukan penyelarasan kurikulum berbasis kewirausahaan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. (arh)
 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates