Pages

Ads 468x60px

Labels

BINA BANGUN BANGSA : Strategic National Development Organization

Selasa, 26 Oktober 2010

EKONOMI KERAKYATAN ITU SANGAT SIMPEL

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Cornelis Lay, Guru besar Universitas Gadjah Mada mengingatkan kita tentang bahaya neoliberalisme.  Sebuah ideologi yang mengedepankan ekonomi pasar yang cenderung tidak berpihak pada rakyat. Sebaliknya, ia berbicara tentang ekonomi kerakyatan sebagai solusi permasalahan bangsa.
Lalu bagaimana Cornelis Lay berbicara mengenai teori  ini. Inilah petikan wawancara Rakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay di Leiden, Negeri Belanda.

Bisa anda ungkapkan tentang hakekat ekonomi kerakyatan?
Menurut saya, ekonomi  kerakyatan itu sangat simpel,  tidak  terlalu  rumit. Karena memang  sudah dikonstruksikan di dalam Konstitusi (1945) yang lama. Pertama, seluruh kekayaan alam, bumi, dan semua yang  terkandung di dalamnya itu harus berada di tangan negara. Dan semua itu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manifestasinya itu di dalam bentuk  hadirnya perusahaan-perusahaan  publik, yang mengontrol  sumberdaya-sumberdaya  strategis.
Kita memang trauma dengan permasalahan korupsi di perusahaan-perusahaan negara (BUMN – Badan Usaha  Milik Negara)  itu. Namun, menurut saya, korupsi itu yang harus dihilangkan, bukan BUMN nya yang  harus  dihilangkan. Itu lah problema Indonesia. Karena  efesiensi, efektivitas dan  tidak  korup  itu sebenarnya  soal manejemen, bukan  soal kepemilikan.
Dengan  cara  seperti  itu  fungsi-fungsi  sosial dari berbagai  institusi  itu berjalan dengan baik.  Tapi sekaligus Konstitusi  kita yang lama mengatakan, bahwa usaha-usaha ekonomi itu disusun dengan keseimbangan, antara usaha-usaha yang sifatnya berbasis  kolegialitas  masyarakat, yang kita sebut koperasi, dengan usaha-usaha yang sifatnya  individual yang  kita  sebut perusahaan swasta dan  juga BUMN  itu. Jadi ada peran, di mana  negara  memegang peran yang  besar,  ada peran koperasi  dan peran perusahaan orang  perorang.  Problema kita saat sekarang ini adalah peran negara (BUMN) dan peran koperasi itu (telah) kita bunuh. Kita melepaskan semuanya  itu kepada privat,  kepada  individual.
Kedua, ekonomi  kerakyatan itu  juga berkaitan dengan tata cara kita mendistribusikanresource (sumber daya) nasional. Kalau kita menganggap, bahwa kekuatan ekonomi Indonesia itu terletak pada sektor pertanian, karena itu  adalah sektor yang paling banyak melibatkan tenaga produktif rakyat Indonesia dan di sanalah masa depan dari masyarakat justru ada. Maka distribusi sumber daya nasional kita harusnya menggambarkan keyakinan itu. Uang itu harusnya lebih banyak dikasihkan ke situ,  ke sektor pertanian.
Kenyataannya  sekarang  ini sebaliknya. Pertanian  kita  mengalami deagrarisasi , seluruh infrastrukturnya hancur  berantakan tidak  ada yang memperhatikan,  nggak ada  insentif  apapun membuat orang  masih senang  atau  berkeinginan  menjadi petani.  Sekarang ini sebagian besar petani  kita  usianya 50-an ke atas. Akhirnya sektor  pertanian ini mengalami kehancuran  secara  total. Dan justru yang  kita kembangkan adalah sektor-sektor yang  samasekali tidak  menghasilkan  apa-apa kecuali  janji, jasa -  pasar obligasi, pasar uang. Itu semua, orang berspekulasi di situ. Gambaran dari kerakyatan itu ada pada policy (kebijakan) yang memihak pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh rakyat, misalnya pertanian, perikanan, sektor-sektor  informal  itu adalah sektor atau aktivitas-aktivitas ekonomi pokok yang mestinya ditopang  secara  habis-habisan oleh keuangan negara. Dan itu yang tidak terjadi.
Kita lebih  suka  membantu bank yang  bangkrut  sampai  triliunan rupiah, ketimbang, misalnya  saja, membantu  petani  yang  kena pajak. Itu penggambaran pada level policy (kebijakan). Tetapi ekonomi kerakyatan juga sekaligus menggambarkan bukan saja pola kita mendistribusikan sumber nasional , tetapi pola kita mengkonsumsi.  Kalau kita percaya, bahwa tumpuan ekonomi kita itu ada di dalam, yang paling gampang sajalah,  yakni pertanian tadi. Nah, kan mestinya, tata cara kita merancang pola konsumsi  kita juga sama. Lha kita yang kita dorong adalah mie yang gandumnya didatangkan dari Amerika. Itu sudah aneh. Jadi pola konsumsi nasional  juga harus dipakai untuk mendorong  pertanian kita.
Kita lihat orang Jepang saja gampang, ke mana dia pergi keluar negeri yang tidak membeli produk buatan Jepang, restoran Jepang, kamera Jepang, semuanya serba Jepang. Kita pergi ke Korea Selatan, 99 persen kendaraannya pasti produk Korea Selatan. Demikian juga ke China, penduduknya membeli  produksi dalam negerinya sendiri.
Nah, kita ini terbalik. Jadi kira-kira itu penggambaran-penggambaran. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, harus ada sistem pengorganisasian produksi ekonomi yang jelas, dengan memberikan kepercayaan pada negara untuk terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Tetapi juga ada kesempatan diberikan kepada kolektivitas masyarakat dalam bentuk koperasi  dan sebagainya. Disamping  sudah tentu, hak  secara  individual juga diberikan, distribusi  keuangan negara,  prioritas konsumsi kita, skala prioritas pembangunan kita itu  mestinya  jalan  semua. [arp]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

sample teks

Sample Text

 
Blogger Templates